
Pelaksanaan TSN 2015, Minggu, 13 Desember 2015 di kampus Unika Atma Jaya, Jakarta (Sumber: http://www.hpi.or.id/tes-sertifikasi-nasional-tsn-2015)
Tadinya saya tidak berniat mengikuti Tes Sertifikasi Nasional (TSN) Himpunan Penerjemah Indonesia. Toh, penerbit yang pernah saya lamar tidak pernah menanyakan sertifikat, dan lebih melihat hasil tes terjemahan serta resume. Tapi situasinya sedikit berbeda ketika saya mencoba melamar ke agensi penerjemahan. Pernah ada agensi yang meminta bukti sertifikasi (meski bukan syarat mutlak). Akhirnya, setelah merenung dan menabung, pada Desember 2015 saya memberanikan diri mengikuti TSN bidang Umum dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.
TSN merupakan salah satu cara menguji kompetensi penerjemah guna membantu pengguna jasa mendapatkan penerjemah profesional yang andal. Ada dua jenis TSN, bidang Umum dan Hukum, sedangkan pasangan bahasa yang diujikan sejauh ini baru Inggris dan Indonesia. Sebenarnya, dulu ada Ujian Kualifikasi Penerjemah (UKP) yang diselenggarakan setiap tahun oleh Pusat Penerjemahan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (PPFIB-UI) bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sayangnya, UKP untuk bidang Hukum hanya bisa diikuti mereka yang ber-KTP DKI. Setelah UKP berakhir pada 2010, HPI berinisiatif mengadakan TSN yang dicanangkan untuk meneruskan UKP dan kali ini bersifat nasional.
Biaya mengikuti TSN 2015 cukup besar, Rp 1,25 juta untuk satu jenis ujian, karena itu saya tidak mau bersiap seadanya. Kendati menerjemahkan sudah menjadi pekerjaan saya sehari-hari, dalam bayangan saya TSN pastilah bikin senewen. Seperti yang disampaikan Mba Rita Adisoemarta, ketua Komite Kompetensi & Sertifikasi HPI, pada acara pelantikan lulusan TSN 2015, soal TSN sebenarnya mudah, cuma karena namanya ujian, kondisinya dibuat menegangkan. Belum lagi waktunya amat terbatas, dan peserta hanya boleh membawa kamus cetak (padahal sehari-hari saya mengandalkan Kateglo atau TheFreeDictionary dan acap kali mengecek Google).
Berikut ini sedikit cerita tentang pengalaman saya menempuh TSN:
- Untuk membiasakan diri menerjemahkan teks nonbuku, saya membuat latihan kecil selama 2 minggu sebelum TSN. Setiap hari, saya menerjemahkan satu artikel pendek dari media asing yang menjadi sumber Kompas cetak (biasanya rubrik internasional) tanpa mengintip kamus daring, lalu membandingkan hasilnya dengan terjemahan Kompas. Lumayan efektif, meski tetap saja kagok bekerja tanpa Google dkk.
- Dari tulisan blog beberapa teman yang pernah mengikuti TSN, saya mendapat masukan tidak perlu membawa banyak kamus. Akhirnya, saya putuskan hanya menyiapkan Kamus Inggris-Indonesia (John M. Echols dan Hassan Sadily, Gramedia) serta Tesaurus Bahasa Indonesia (Eko Endarmoko, Gramedia). Saya tidak membawa kamus ekabahasa, karena peserta bisa memanfaatkan fitur Tesaurus bawaan di MS Word. Lagi pula, dengan waktu yang terbatas, saya hampir tidak sempat membuka-buka kamus.
- Sekretariat HPI rajin mengirimkan informasi tentang TSN: waktu dan tempatnya, apa yang perlu dibawa, apa yang dilarang, siapa pesertanya, dll. Segala informasi ini perlu disimak benar-benar. Ada teman peserta yang tidak membawa kamus karena mengira tidak boleh memakai kamus sama sekali seperti pada UKP dulu, padahal informasi tentang ini telah dikirimkan ke email peserta.
- Pada hari H, peserta sebaiknya membaca petunjuk tes dengan cermat. Metode tes adalah ujian berbasis komputer, dengan dua teks soal: wajib dan pilihan (± 1000 kata), yang dikerjakan dalam waktu 3 jam. Pada TSN yang saya ikuti, untuk teks wajib temanya demografi kependudukan, berupa rangkuman eksekutif (executive summary) laporan donor kepada pemerintah Indonesia, sedangkan untuk teks pilihan temanya beragam. Menurut saya, teks pilihannya tidak terlalu sukar, tetapi menantang karena peserta harus menerjemahkan sesuai dengan pembaca yang dituju, apakah anak sekolah, karyawan, atau mahasiswa, dll.
- Saat menerjemahkan buku, biasanya saya cenderung mengerjakan satu paragraf sampai rapi baru berpindah ke paragraf berikutnya. Tapi untuk TSN, cara begitu tidak bisa diterapkan. Jadilah saya menerjemahkan secepat-cepatnya, meninggalkan bagian yang tidak saya mengerti, dan meluangkan waktu cukup banyak untuk mengedit agar hasilnya maksimal. Tetap saja waktu terasa mepet. Belum lagi saya agak terintimidasi oleh peserta yang cepat sekali meninggalkan ruangan ujian sementara saya masih sibuk mengetik.

Saya bersama Komite Kompetensi & Sertifikasi HPI, Rita Adisoemarta dan Evand Halim, pada pelantikan lulusan TSN 2015, 29 Mei 2016 di Jakarta. Konon, tahun 2016 adalah TSN terakhir yang akan mereka gawangi. Semoga TSN tetap berlanjut dengan kualitas yang meningkat. (Sumber: Facebook Pak Eddie)
Alhamdulillah, saya berhasil lulus TSN dan dilantik menjadi penerjemah bersertifikat HPI pada 29 Mei 2016. Sekarang tantangannya adalah mempertahankan dan meningkatkan kompetensi saya sebagai penerjemah profesional serta memasarkan jasa secara lebih luas.
Namun, perlu diingat, sertifikasi bukan segala-galanya. Yang terpenting bagi penerjemah tetaplah menghasilkan terjemahan berkualitas prima. Apa gunanya sertifikat jika terjemahan yang dihasilkan tidak memuaskan kebutuhan dan harapan klien atau pembaca?
Silakan baca juga:
Mbak, sejauh ini kamus dwibahasa Inggris Indonesia yang (sebutlah) “terbaik” apa ya kira-kira?
Lalu, sertifikat ini ada masa berlakunya ga?
Bagi saya, yang paling baik masih Kamus Inggris-Indonesia-nya Echols dan Hassan Shadily. Tapi karena sekarang udah online terus, sehari-hari saya mengandalkan sederet.com.
Sertifikat ini berlaku selama 5 tahun. Tapi saya agak lupa penjelasan Mba Rita soal ini sewaktu pelantikan. Kalau nggak salah, penerjemah bersertifikat HPI perlu memperpanjang masa berlaku sertifikat, tapi bukan berarti perlu ikut ujian lagi. Cuma saya masih belum jelas.
Selain Kompas, media apalagi yang terjemahannya bagus untuk kita jadikan pembanding hasil latihan? Kebetulan saya tidak berlangganan Kompas. Hehe… 😀
Saya juga pake Kompas karena cuma langganan itu 🙂 Sepertinya Republika juga bagus, dan suka juga gaya bahasa majalah Tempo.
Boleh dong minta bocoran soal tesnya ^_^ #ngarep
Oh yah dulu sempat ikut tes UKP yang umum, tanpa harus ber ktp dki. Hasilnya gagal euy.
Itu udah dikasih bocoran tentang demografi kependudukan 😀 Tapi konon ujiannya memang sekitar executive summary, tapi nggak tahu ya kalau nanti-nanti berubah hehe
Oh, jadi saya salah tangkap. Saya kira selama ini tes UKP hanya untuk yang berktp DKI. Ternyata itu khusus untuk penerjemah bersumpah ya…
Hehe iya, sory. Ternyata bocoran soalnya ada di poin nomor 2 terakhir.
Kayaknya konsepnya hampir sama dengan UKP dulu.
Benar, kalau gak salah ukp dulu ada 2 versi. Kalau untuk umum, pesertanya gak harus ber ktp dki.