Pekan lalu, tepatnya 7 Desember, saya diajak Muthia Esfand (editor Fantasious) mengisi workshop dasar penerbitan dan penerjemahan bagi siswa kelas 10 dan 11 Sekolah HighScope Indonesia. Saya langsung oke karena kesempatan memperkenalkan dunia penerjemahan kepada siswa SMA terbilang jarang, meski mendadak jiper saat tahu pesertanya 130 orang. Tapi nggak apa-apa, hitung-hitung sekalian melatih public speaking saya yang masih amburadul 😛
Workshop berlangsung sekitar dua jam. Muthia menyampaikan sekelumit proses penerbitan buku (sekelumit, karena model belajar di sekolah ini tidak membebani siswa dengan banyak teori sehingga kami hanya diberikan waktu masing-masing lima menit, yaay!), saya tentang dasar penerjemahan, dan sisanya diisi latihan menerjemahkan. Bahannya saya comot dari sana-sini, ngubek-ngubek berbagai buku, tapi paling banyak mengambil dari pengalaman sendiri. Untuk materi latihan, kami memutuskan menggunakan novel remaja yang pernah saya terjemahkan untuk Fantasious, The Darkest Minds. Satu halaman saja (sekitar 500 kata), supaya bisa dikerjakan dalam setengah jam.
Acara dimulai pukul 09.30. Saat kami masuk ke Black Box Theatre yang menjadi tempat acara, para siswa telah dibagi dalam sepuluh kelompok, masing-masing didampingi satu guru, untuk keperluan latihan menerjemahkan.
Kemudian, dengan infografis sederhana agar dipahami siswa, Muthia memaparkan proses penerbitan buku, baik lokal maupun terjemahan, mulai dari menyusun tema hingga akhirnya tiba di tangan pembaca. Sebagian siswa sepertinya cukup berminat. Mungkin kapan-kapan perlu dibuatkan workshop melihat langsung dapur penerbit 😀

Infografis yang dipaparkan Muthia saat workshop.
Saat giliran saya, saya lebih dulu mengajukan pertanyaan kepada siswa apakah ada yang pernah membaca buku terjemahan. Ternyata tidak ada, mungkin karena sejak awal mereka dibiasakan membaca buku bahasa Inggris. (Duh, jadi nggak pernah ada yang baca terjemahan brilian Bapak Agus Setiadi untuk serial Lima Sekawan atau Ibu Listiana Srisanti untuk Harry Potter?) Setelah saya menyampaikan dasar penerjemahan, barulah latihan dimulai. Materinya bisa dilihat di sini: highsc2015_materi teks asli
Siswa diberikan waktu setengah jam untuk menerjemahkan secara berkelompok. Saya perhatikan sebagian besar kelompok memilih membagi-bagikan materi. Satu paragraf digarap dua-tiga orang, baru setelah itu didiskusikan bareng-bareng. Seru juga melihatnya, ada yang membahas soal dengan serius, ada yang sibuk membuka kamus di ponsel. Karena waktu terbatas, hanya tiga kelompok yang diminta mempresentasikan hasil terjemahan.
Sewaktu pembahasan hasil terjemahan, saya teringat pengalaman pribadi pada masa awal menerjemahkan (silakan baca: Ketika Bertemu Idiom). Biasanya salah satu kekurangan pemula adalah menerjemahkan idiom apa adanya tanpa melihat konteks kalimat. Misalnya, “I didn’t have any dead cousins to send red flags“. Beberapa kali frasa “red flag” diterjemahkan “bendera merah”, padahal maksudnya peringatan atau sinyal akan munculnya masalah. Sebenarnya hal semacam ini bisa diraba dari konteks kalimatnya. Selain itu, diksi masih perlu dikembangkan, seperti dalam “She didn’t have cancer” yang diterjemahkan “Dia tidak mempunyai kanker”. Untuk penyakit, mungkin “mengidap” atau “terkena” lebih pas. Terlepas dari hal itu, hasil terjemahan para siswa cukup baik.
Uniknya, ada satu kelompok yang dengan kreatif memakai kata “beta” alih-alih “aku” (novel ini memakai sudut pandang orang pertama). Sebenarnya memakai “beta” ataupun “saya” tidak masalah. Tapi untuk soal ini, kita harus melihat siapa pembaca kita. Kalau remaja, mungkin ada baiknya memakai “aku” yang lebih lazim. Di dunia penerbitan, pemilihan kata tidak umum semacam itu sebaiknya didiskusikan dengan editor terlebih dahulu, karena mereka dianggap mengenal selera pembaca.
Secara umum saya puas dengan workshop kemarin. Siapa tahu kelak salah satu dari mereka tertarik menjadi penerjemah. Apalagi modal menguasai bahasa Inggris sudah dalam genggaman. Dan berkaca dari pengalaman kemarin, nggak ada salahnya pengenalan profesi semacam ini juga dilakukan di SMA lain. Saya daftar ah sebagai pengisi materi 😀
Keren, Lu! Harusnya ini dilakukan ke banyak sekolah ya. Kalau untuk anak SMP terlalu muda, nggak? Mana tahu nanti saat Hana SMP, aku bisa mencolek sekolahnya untuk bikin acara serupa. 🙂
Makasih, Nad 😀 Menurutku sih SMP nggak kemudaan untuk mengenal profesi penerjemah, tapi mungkin karena aku sudah baca terjemahan dari SD dan dari dulu merasa penerjemah itu kece banget kali ya hihi… Tapi SMA mungkin lebih pas karena setelah itu mereka akan masuk dunia kuliah, dan siapa tau tertarik untuk kuliah penerjemahan 🙂
S1 penerjemahan sudah ada ya? *ketinggalan info nih aku*
Yang aku tahu baru Universitas Terbuka sih. Kayaknya yang lain belum ada jurusan khusus penerjemahan. CMIIW. Ini tautannya:
http://www.fisip.ut.ac.id/program/sarjana/sastra-inggris