
ki-ka: Anastasia Mustika W (chief editor fiksi GPU), Dharmawati, Novera Kresnawati, Rosi L. Simamora.
Untuk menyegarkan ingatan akan ilmu penyuntingan dan selingkung Gramedia Pustaka Utama serta fungsi dan tugas editor, redaksi fiksi GPU menggelar acara “Kumpul Editor GPU dan Ngobrol Bareng tentang Penyuntingan” Sabtu, 28 November 2015 di Kompas Gramedia Building, Jakarta.
Acara yang diikuti puluhan editor in-house dan freelance GPU ini menghadirkan tiga pembicara: Dharmawati (mantan editor fiksi GPU, penerjemah lepas), Novera Kresnawati alias Vera (editor fiksi GPU spesialis naskah lokal teenlit). dan Rosi L. Simamora (mantan editor fiksi GPU, penerjemah, editor, dan penulis puluhan buku).
Subjektivitas Editor
Di sesi pertama, Mba Dharma dan Mba Vera menyampaikan tips penyuntingan novel terjemahan dan lokal. Tips ini mungkin sudah diketahui sebagian besar penerjemah/editor, tetapi sesuai tujuan acara, materi semacam ini perlu diingatkan terus, apalagi bahasa terus berkembang.
Menurut Mba Dharma, ada empat unsur penyuntingan yang perlu dipegang penerjemah/editor: (1) akurasi, mengecek kamus baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing, melakukan konversi ukuran, mengikuti kaidah EYD, serta mencari padanan yang paling mendekati saat bertemu ungkapan atau peribahasa; (2) variasi, rajin membuka tesaurus dan memilih diksi yang pas dan variatif agar buku lebih bisa dinikmati; (3) konsistensi, memeriksa pemakaian istilah, kata, atau kalimat yang muncul berulang dalam naskah, serta menerapkan selingkung penerbit, dan; (4) sensor, memuluskan adegan yang kelewat vulgar, terutama untuk buku dewasa. Tidak ada patokan pasti mengenai sensor, tetapi yang pasti GPU memiliki kebijakan tidak menyebutkan secara eksplisit bagian tubuh tertentu.
Mba Vera menekankan pentingnya penerjemah/editor menguasai tata bahasa Indonesia. Beberapa buku perlu dijadikan pegangan, di antaranya Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa; GPU), Tesaurus Bahasa Indonesia (Eko Endarmoko; GPU), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, dan Pedoman Umum EYD. Untuk menambah wawasan, ada baiknya editor melengkapi diri dengan Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia (Harimurti Kridalaksana; GPU), Buku Pintar Penyuntingan Naskah (Pamusuk Eneste; GPU), dan lain-lain.

Saya dan beberapa teman penerjemah yang menghadiri acara Kumpul Editor Fiksi GPU.
Ada beberapa masalah yang kerap muncul saat mengedit naskah. Salah satunya, pemakaian istilah yang ada di kamus, namun kurang dikenal masyarakat. Sebenarnya, inilah kesempatan kita memperkenalkan istilah dan mengedukasi pembaca. Tapi kita juga perlu melihat konteks atau genre naskah. Jika novel remaja, istilah yang sulit atau kurang populer perlu dikurangi.
Dalam novel terjemahan, masalah yang kerap memusingkan penerjemah/editor adalah permainan kata. Untuk soal ini, kita harus kreatif dan tidak berpatokan pada naskah asli. Kita juga diperbolehkan merombak susunan kalimat terjemahan asalkan tidak mengubah makna. Di sini, subjektivitas editor berperan. Setiap editor memiliki kebijakan masing-masing yang akan terasah seiring bertambahnya jam terbang.
Satu lagi tips: kalau sempat, bacalah naskah hingga selesai sebelum mulai bekerja. Dengan begitu, kita mendapat gambaran gaya bahasa yang akan dipakai, apakah santai atau formal. Selain itu, kita perlu menyukai naskah yang akan diedit. Malah, tidak ada salahnya kita menolak proyek naskah yang genrenya tidak kita sukai.
Belajar dari Naskah “Busuk”
Jika di sesi sebelumnya lebih banyak dibahas tentang teknis penyuntingan, dalam sesi kedua “Editor vs Writer”, Mba Rosi membahas fungsi dan tugas editor naskah lokal, cara berhubungan dengan penulis, serta bagaimana menyikapi naskah sulit.
Tugas utama editor adalah membereskan naskah penulis. Untuk itu, editor harus rajin dan teliti. Editor juga harus siap menjadi bayang-bayang penulis, meski di sisi lain perlu lebih pintar daripada penulis dalam melihat kekurangan naskah. Singkat kata, editor harus rendah hati dan sadar dalam tugasnya dia tidak mencari ketenaran.
Salah satu keahlian yang perlu dimiliki editor adalah menjaga komunikasi dengan penulis. Terkadang penulis yang belum matang sering ngeyel, padahal editor hanya berusaha membantu memperbaiki naskahnya. Di sinilah gunanya pendekatan secara baik-baik, keahlian yang tidak muncul dalam sekejap. Karena itu, Mba Rosi menyarankan agar editor freelance berhubungan langsung dengan penulis. Dengan begitu, hubungan antara kedua belah pihak lebih terjaga, dan editor bisa langsung memberikan masukan.
Sering kali kita mendapatkan naskah “busuk” yang perlu dirombak habis-habisan, bahkan ditulis ulang. Meski menyebalkan, kekurangan apa pun perlu disampaikan kepada penulis. Naskah “busuk” semacam inilah yang menggembleng mental kita dan menjadikan kita “kaya” sebagai editor.
Panduan Selingkung
Dari hasil obrolan saya dengan beberapa editor in-house GPU, acara semacam ini mungkin akan diadakan lagi, mengingat masih banyak penerjemah dan editor yang belum diikutkan. Selain itu, ada usulan positif yang mengemuka dalam acara ini, yaitu perlunya dibuat semacam buku panduan selingkung GPU. Semoga kedua hal tersebut benar-benar terwujud, agar mutu buku terbitan GPU, baik lokal maupun terjemahan, semakin meningkat.

Cendera mata dari GPU untuk peserta acara. Girang sekali dapat buku “Cerita Cinta Indonesia” 🙂