
Para peserta FGD tentang penerjemahan novel bersama tim dari Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, 30 Mei 2015 (ki-ka): Arif Suryo, Rudi Hartono, Dina Begum, saya, Eka Budiarti, Ayu Pujiastuti, Istiani Prajoko, Meggy Soedjatmiko, Krismariana Widyaningsih.
Hari Sabtu yang lalu (30/5), saya dan beberapa teman penerjemah buku diundang mengikuti Focus Group Discussion (FGD) bersama tim dari Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang (Unnes), yang diketuai Dr. Rudi Hartono, pengajar kelas Translation di jurusan tersebut. Ibu Istiani Prajoko, penerjemah yang sudah menerjemahkan lebih dari 100 buku, dengan baik hati memfasilitasi FGD ini, sekalian syukuran kediaman barunya di Bekasi.
FGD ini diadakan untuk mencari masukan tentang penerjemahan novel dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Sebelum diskusi dimulai, kami diminta mengisi angket. Secara umum pertanyaannya tentang kesulitan yang kami hadapi saat menerjemahkan novel, bagaimana cara mengatasinya (apakah cukup googling, atau sampai bertanya kepada penulis novel jika masih hidup). Intinya, tim peneliti ingin mencari tahu tentang penerjemahan novel dari kacamata praktisi.
Setelah mengisi angket, barulah kami berdiskusi, atau lebih tepatnya mengobrol santai. Pak Rudi dan rekan timnya Mas Arif Suryo tampak antusias mendengar cerita kami, karena secara umum dunia praktik cukup berbeda dengan teori. Di sisi lain, banyak teori penerjemahan yang jarang kami dengar, meski tanpa sadar sudah kami terapkan saat menerjemahkan.
Sebagai contoh, majas Asonansi dan Aliterasi (silakan baca: Mengenal Aliterasi dan Asonansi). Bapak Rudi menanyakan kasus pemakaiannya dalam terjemahan novel. Setelah dijelaskan (dan belakangan meng-google sendiri 😛 ) barulah kami mengerti maksudnya. Untuk aliterasi, Mba Dina Begum memberikan contoh “The Fountain of Fair Fortune” dari Kisah-Kisah Beedle Si Juru Cerita (Gramedia: 2009). Dalam buku terjemahannya, kata-kata tersebut dialihbahasakan menjadi “Air Mancur Mujur Melimpah”.
Bapak Rudi juga menanyakan apakah ada kursus atau pelatihan yang kami ikuti, mengingat sebagian besar peserta FGD tidak berlatar belakang pendidikan sastra. Mba Ayu Pujiastuti dan Mba Dina menceritakan pengalaman mereka saat mengikuti kursus penerjemahan yang diselenggarakan FIB UI di Salemba. Selain itu, HPI juga kerap mengadakan pelatihan, yang terakhir bekerja sama dengan Gramedia Pustaka Utama.
Krismariana memberikan masukan bahwa sebaiknya kursus atau pelatihan lebih banyak menampilkan praktik ketimbang teori. Salah satu model pelatihan yang cukup intens bagi penerjemah novel adalah yang diadakan InterSastra beberapa waktu silam (silakan baca: Sepekan Penerjemahan Sastra). Dalam pelatihan itu, selama seminggu penerjemah “dikurung” untuk menerjemahkan cerpen atau nukilan novel, berdiskusi langsung dengan penulisnya, dan terakhir membacakan hasil terjemahannya dalam bentuk pementasan.
Mengenai hubungan dengan penerbit, Bapak Rudi bertanya apakah biasanya karya terjemahan kami dievaluasi terlebih dahulu oleh tim pembaca (selain editor penerbit) sebelum diterbitkan? Umumnya hal ini jarang. Tetapi, seperti yang saya alami sendiri untuk buku A Game of Thrones (baca: Di Balik Penyuntingan A Game of Thrones), Fantasious merangkul komunitas Westeros Indonesia sebagai pembaca pertama sebelum melempar buku tersebut ke pasaran.
Di penghujung acara, Ibu Isti memberikan sedikit demo pemakaian Trados, alat bantu penerjemahan (CAT Tools) yang mulai lazim digunakan kalangan penerjemah. Meski begitu, Trados dan CAT Tools lainnya yang mengandalkan repetisi dalam teks terkadang kurang praktis untuk penerjemahan novel.
Sebelum berpisah, tanpa disangka-sangka, Bapak Rudi dan Mas Arif membawakan oleh-oleh untuk semua peserta FGD, berupa kain batik khas Semarangan dan Wingko Babat. Rezeki anak soleh 😀
Begitulah sekelumit cerita tentang FGD bersama tim peneliti dari Unnes. Sebenarnya masih banyak yang bisa digali dari penerjemahan novel, tapi karena keterbatasan waktu, diskusi hanya sampai di sini. Tetapi saya takjub juga, yang buat kami pekerjaan sehari-hari ternyata masukan berharga bagi para pengajar yang selama ini berkecimpung dalam teori. Demikian pula sebaliknya. Adakalanya praktik dan teori sesekali bertemu agar bisa saling mengisi.
Terima kasih berbagi berita bermanfaat, Jeng Lulus. Salam sukses.
Sama-sama, Mba Indri, makasih udah berkunjung :-*
100 buku? Luar biasa! Terima kasih infonya bermanfaat sekali
Sama-sama, Dion. Iya, 100 buku, keren banget 😀
Blog pak Rudi: http://www.duniaterjemahunnes.blogspot.com/
Thanks ya, Mba Dina. Segera meluncur 🙂
Wah mba baru nemu blog mba langsung hooked banget sama isi-isinya. Kebetulan aku baru masuk kuliah jurusan sastra inggris dan dari kecil ingin sekali bisa kayak mba nih! Terus sukses yaa! 😀
Halo, Eddline, senengnya dapet apresiasi seperti ini, meski aku masih harus lebih rajin ngisi blog nih 😛 Sukses juga buat Eddline ya, semoga yang dicita-citakan tercapai 😀
Saat ini saya sedang mengambil kelas Translation dan menurut saya teori dan praktik itu kadang membuat saya senewen. Selama ini saya menerjemahkan… ya menerjemahkan tanpa tahu tentang teori ini-itu. Saya menggunakan metode yang menurut saya (mungkin) benar hehe. Tapi begitu mengambil kelas Translation, rupanya ada berbagai macam teori yang malah ada semakin membuat bingung (khususnya kalau sudah dihubungkan dengan Syntax–aaargh). Tapi memang dari teori yang saya dapatkan di kelas rupanya sebagian sudah saya terapkan sendiri 😀
Makasih sharing-nya, Yuni, aku sendiri nggak pernah mengambil kelas Translation, jadi nggak kebayang rasanya bahwa selama ini kita menerjemahkan apa adanya, tiba-tiba kita diminta menerjemahkan dengan teori A atau B, dll. Kupikir bakal seru 😛
Tapi buatku yang menerjemahkan secara otodidak, teori penerjemahan sangat bermanfaat dalam menganalisis terjemahan. Kalau nemu suatu kasus dan pingin membahasnya di blog, rasanya gemes nggak tau ini istilahnya apa atau teori yang dipakai apa.
Aku suka kata-kata Mona Baker di buku “In Other Words” yang kira-kira maksudnya begini: Teori itu penting karena (1) meminimalkan risiko dan mempersiapkan mahasiswa dalam menghadapi suatu kasus, (2) membuat mahasiswa lebih percaya diri karena tahu keputusannya didasari pengetahuan konkret alih “firasat” atau “intuisi”, (3) memberikan dasar bagi perkembangan bidang yang digeluti karena teori mewakili pengetahuan formal yang bisa terus dieksplorasi.
Maaf jadi panjang yaaa 😀