Sewaktu pertama kali ditawari menerjemahkan novel The Golem and the Jinni karya Helene Wecker, saya teringat pengalaman beberapa tahun silam. Waktu itu saya masih piyik, dan iseng melamar sebagai penerjemah lepas Gramedia. Tanpa persiapan memadai, saya gagal.

Sampul asli “The Golem and the Jinni” yang diterbitkan oleh Harper Collins (sumber foto: HarperCollins).
Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada akhir 2013, Mba Dini Pandia menawarkan penerjemahan buku kepada saya. Saat itu saya baru mulai mengedit untuk Gramedia. Lagi kangen-kangennya menerjemahkan, eh kesempatan kedua itu datang. Alhamdulillah saya berhasil menyelesaikan tugas tersebut, yaitu The Golem and the Jinni yang sekarang sudah beredar, meski sempat deg-degan karena mulur sampai dua bulan dari tenggat 😛
Bukunya sendiri mengisahkan dua makhluk yang berbeda. Chava adalah golem, sedangkan Ahmad berasal dari kaum jin. Karena merasa terasing di dunia manusia, mereka menjalin persahabatan yang membuat mereka kerap menjelajahi New York di waktu malam sambil bertukar pikiran. Sementara itu, tanpa disadari keberadaan mereka sebenarnya terancam. Buat saya, ceritanya unik dan menyentuh.

Helene Wecker. Sumber foto: http://www.helenewecker.com/
The Golem and the Jinni adalah novel perdana Helene Wecker. Meski kedua protagonisnya berasal dari mitos, konsep dasar novel ini diambil dari kehidupan nyata Wecker. Pengarang berdarah Yahudi ini menikah dengan pria Amerika keturunan Arab Suriah yang dikenalnya sewaktu kuliah. Namun, meski sebagian besar tokoh di Little Syria dalam novel ini beragama Kristen, keluarga suami Wecker sendiri adalah Muslim.
Sewaktu naskah asli buku ini tiba di rumah, saya sempat shock dengan ketebalannya yang 500 halaman. Saat itu, ini buku paling tebal yang pernah saya garap (tapi setelah itu dapat buku 600 halaman deh). Tadinya saya nekat ingin memindai satu per satu halaman untuk digarap dengan bantuan Wordfast, tapi akhirnya mengurungkannya. Terlalu lama waktu yang dibutuhkan.
Dalam penerjemahannya, alhamdulillah soal pun atau permainan kata hampir tidak ada. Biasanya masalah itu yang bikin pusing saya. Tapi kali ini, saya lebih disibukkan urusan meramban suasana New York pada abad ke-19, serta tata cara agama Yahudi yang melatari sebagian buku ini. Mengingat ada bagian yang sedikit sensitif karena bersentuhan dengan agama, saya memasukkan komentar dalam file terjemahan untuk menjadi pertimbangan editor.
Di tengah-tengah pengerjaan (sudah mau selesai sih…) saya iseng menghubungi Helene Wecker via Facebook. Ceritanya sebagai perkenalan sekiranya saya ketemu masalah dalam naskah dan perlu bertanya. Alhamdulillah saya tidak bertemu masalah berat yang harus ditanyakan. Tetapi ternyata ditegur penulis asli buku yang kita kerjakan menyenangkan juga ya. Seharian saya senyum-senyum terus :D.
Dan akhirnya The Golem and the Jinni versi bahasa Indonesia terbit juga awal tahun 2015 ini. Kesempatan kedua untuk saya yang semoga tidak mengecewakan pembaca.
pengalamannya menarik, penantian memang butuh kesabaran ya mba. hehehe.. semoga saya pun bisa mendapatkan kesempatan menerjemahkan -sebut saja resmi- dari penerjemah.
bukunya menarik juga mba. sudah beredar di Bandung juga kan? 😀
ralat: “… kesempatan menerjemahkan -sebut saja resmi- dari penerbit”
Terima kasih. Iya, semoga Aria juga segera mendapat kesempatan dari penerbit. Nggak usah nunggu loker, kirim aja langsung lamaran ke penerbit 😀
Saya kurang tau soal peredaran buku, soalnya saya juga baru dapat hari ini.
hehehe iyah siap mba.. 😀 😀 😀
okee deh semoga sudah ada di Bandung 😀
Jadi sepertinya tujuh tahun itu waktu untuk Lulu bernapas dan menghimpun tenaga guna mengerjakan 500 halaman ya:))
Haha, kayaknya ada benernya. Tujuh tahun itu masa-masa diplonco. Masih tetep sih sampe sekarang, meski agak berkurang 😛
Keren, Mbak. Makasih banget sudah mau berbagi pengalaman. Itung-itung menginspirasi anak-anak ayam lainnya hahaha 😀
Yang penting memang hasrat dan ditekuni, ya. Saya baru mulai belajar jadi penerjemah, tapi nggak jarang merasa patah semangat karena banyak hal. Misalnya lantaran belum kenal banyak orang jadi masih harus meraba-raba sendiri, walhasil takut nantinya gagal. Tapi ya semoga nggak begitu.
Sukses terus, Mbak 🙂
Sama-sama, Nisa, iya samaaa, perjalanan saya hingga menjadi seperti sekarang (dan masih jatuh-bangun juga hehe) kadang diwarnai patah semangat juga. Normal kok, asal bangkit lagi yaa 😀