Kemarin, Senin, 25 Agustus, saya berkesempatan “menyusup” ke acara halal bihalal penulis buku Islam kelompok Gramedia di Gedung Kompas Gramedia Palmerah Barat. Saya sendiri belum jadi penulis, apalagi buku Islam, tapi anggaplah undangan yang saya terima itu doa supaya kelak bisa betulan menulis buku 😀 Aamiiin…
Acara dibuka oleh Wandi S. Brata selaku Direktur Group of Publishing Gramedia. Dalam sambutannya, Wandi menyampaikan bahwa Gramedia ikut menerbitkan buku Islam bukan karena latah atau mengejar keuntungan, tetapi karena sejak awal berniat menyuguhkan bacaan terbaik bagi masyarakat. Gramedia berprinsip, buku religi yang diterbitkan bukanlah yang bersifat dogmatis, melainkan yang kontennya lebih spiritual dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.
Buku religi memberikan kontribusi 8,45% untuk seluruh penjualan buku kelompok Gramedia. Ini belum termasuk buku-buku bermuatan Islami yang tidak dikategorikan buku religi, seperti trilogi Negeri 5 Menara (2009) karya Anwar Fuadi, atau Hijab Street Style (2012) karya Dian Pelangi.
Dalam kesempatan ini, Gramedia mengadakan talkshow bersama dua penulis beken, Tere Liye dan Marah Adil (@tweetnikah). Syukurlah Gramedia menghadirkan mereka berdua, karena banyak sekali ilmu yang saya dapatkan, terutama mengenai penggunaan media sosial oleh penulis untuk mendukung penjualan buku.
Produktif Lebih Penting
Tere Liye dikenal pertama kali lewat Hafalan Shalat Delisa (2005) terbitan Republika. Dia telah melahirkan banyak karya bersama GPU, di antaranya Bumi (2014), Negeri Para Bedebah (2012), Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah (2012).
Bagi Tere Liye yang sehari-hari bekerja sebagai akuntan, menulis itu sekadar hobi. Dia menganalogikan, jika bisa Facebook-an sampai 2 jam, kenapa kita tidak bisa menulis dengan waktu yang sama? Siapa pun yang bisa meluangkan waktu 1-2 jam untuk menulis, insya Allah bisa menghasilkan buku.
Menurut Tere Liye, kesuksesan penulis tergantung pada seberapa sering ia menerbitkan buku. Ada ucapannya yang cukup berkesan, bahwa kita tidak akan dinilai dari hari ini, tetapi pada 20-30 tahun mendatang. Dia mencontohkan pemusik yang bisa eksis selama puluhan tahun karena produktif menciptakan lagu. Penulis pun begitu, ada baiknya menghasilkan 1-2 buku setahun agar terus dikenang.
Tere Liye yang aktif di Facebook mengaku tidak selalu menggunakan medsos untuk promosi buku. Menurutnya, apa pun pilihan penulis, menggunakan medsos sebagai wadah promosi atau sekadar menyampaikan pendapat personal, medsos terbukti efektif menjaring calon pembaca. Tetapi dia menyarankan agar penulis tidak melulu fokus pada medsos. Produktif dalam berkarya jauh lebih penting.
Dalam menjawab pertanyaan salah satu peserta mengenai menulis bertema kontroversial, bahkan menjurus mencoreng Islam, Tere Liye balik bertanya apa tujuan penulis menulis naskah? Dia menyarankan, menulislah selalu dalam kacamata positif sehingga pembaca terinspirasi. Selain itu, berhati-hatilah membungkus naskah dengan hal-hal religius.
Media Sosial sebagai Sarana Promosi
Sedikit berbeda dengan Tere Liye, Adil sangat mengandalkan media sosial sebagai sarana promosi. Bagi penulis yang populer lewat buku Aku, Kau, & KUA (2013) ini, potensi medsos amat besar. Kenarsisan pembaca yang kerap memajang foto di medsos setelah membeli bukunya menciptakan efek viral dan turut meningkatkan penjualan.
Menurutnya, penulis bertanggung jawab atas penjualan buku. Penulis harus bisa mempromosikan karyanya, yang diyakininya perlu disebarluaskan. Salah satunya dengan cara memanfaatkan medsos secara maksimal dan membangun kedekatan dengan pembaca. Adil pun tak segan-segan menjual sendiri bukunya di internet. Namun, semua itu perlu dikelola secara konsisten.
Berkat sambutan yang sangat positif, Aku, Kau, & KUA ditawarkan diangkat ke layar lebar. Sebagai penulis, Adil sempat ragu dan sampai tiga kali menolak tawaran tersebut, khawatir filmnya tidak akan sesuai bukunya. Namun, karena disepakati penulis akan tetap dilibatkan, film pun dibuat dan rencananya akan tayang pada September 2014. Ini dia trailernya:
Promosi Sudah, Buku Tak Ada
Penulis memang harus ikut bertanggung jawab atas penjualan buku. Tetapi bagaimana kalau bukunya sudah tidak ada di toko buku? Bagaimana penulis menyikapi hal ini?
Adil menyarankan agar penulis selalu menyiapkan stok buku, sehingga bisa menjualnya sendiri. Dan jangan sungkan mengabari editor jika mendapat kabar buku sudah habis di toko buku.
Dari sisi penerbit, Wandi menyampaikan bahwa untuk masalah ini penerbit memiliki dilema, apakah suatu buku punya syarat ekonomis untuk dicetak ulang atau tidak? Bagaimanapun, buku memiliki usia daur hidup.
Namun, penerbit memiliki strategi untuk hal ini. Pertama, Gramedia menyediakan fasilitas Print on Demand. Konsekuensinya, harga buku lebih mahal, bahkan bisa dua kali lipat. Kedua, penulis bisa menerbitkan buku dalam format e-book. Dengan begitu, jika bentuk fisiknya sudah tidak ada, karyanya masih bisa diunduh secara digital.
Strategi lain, Gramedia bekerja sama dengan Amazon, sehingga buku bisa dicetak di luar negeri. Dengan kemudahan ini, Ahmad Fuadi dalam Melbourne Writers Festival 2014 tidak perlu membawa buku dalam jumlah besar, karena bisa dicetak melalui Amazon Australia. Terakhir, untuk memperpanjang usia daur hidup buku, penulis perlu membuat semacam edisi revisi. Berikan nilai tambah pada edisi berikutnya, misalnya mengganti judul yang lebih eye-catching, atau menambah satu bab, dll.
Sebagai penutup, Wandi menambahkan agar penulis jangan malu membaca buku karyanya sendiri di tempat umum. Bukan bermaksud narsis, tetapi penulis perlu menyadari bahwa karyanya lahir dari keinginan untuk berbagi inspirasi. Selain itu, penerbit mempersilakan penulis memanfaatkan kesempatan launching di toko buku. Buku penulis yang dikenal biasanya akan lebih mudah dijual.
waaw bermanfaat banget acaranya. eh saya baru tahu kalau tere liye berprofesi sebagai akuntan. mantap euy!
Iyaaa, aku juga baru tau, Yana. Keren ya, tetap meluangkan waktu untuk menulis, padahal sehari-hari bekerja kantoran 🙂
Aamiin:)
Makasih, Rin 😀