Masyarakat penerjemah bersiap menyambut perhelatan besar setelah Indonesia ditunjuk menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Sebagai salah satu penerbit yang akan berpartisipasi dalam ajang tersebut, Gramedia Pustaka Utama mengadakan seminar bertajuk “On the Road to Frankfurt: How Translation Travels” pada 24 Maret 2014 di Kompas Gramedia Building, Palmerah, Jakarta.
Acara ini menampilkan Kate Griffin dari British Center for Literary Translation (BCLT), John McGlynn (Yayasan Lontar), Nung Atasana (Borobudur Literary Agency), dengan moderator Hendarto Setiadi. Hadir pula Wiendu Nuryanti sebagai Wakil Mendikbud bidang kebudayaan untuk memberikan sambutan.
Organisasi Penerjemahan Sastra
Sebagai pembuka, Kate Griffin membacakan makalah tentang BCLT serta perannya dalam penerjemahan global. BCLT dibentuk pada 1989, dengan fokus pada penerjemahan sastra dari bahasa asing ke bahasa Inggris. Sejauh ini BCLT berusaha meningkatkan kualitas penerjemahan dengan rutin mengadakan lokakarya dan pelatihan. BCLT percaya untuk menghasilkan terjemahan berkualitas tinggi, penerjemah harus diperlakukan adil, dibayar secara layak, dan diberikan waktu memadai dalam bekerja.
Kate juga menyampaikan perlunya negara memiliki organisasi penerjemahan sastra, meski proses terbentuknya mungkin akan memakan waktu lama. Organisasi ini butuh pendanaan jangka panjang. BCLT sendiri mendapat dana dari dewan kesenian Inggris, dan negara-negara lain pun umumnya mengandalkan dana dari dewan kesenian setempat. Meski begitu, BCLT tetap menjaga kredibilitasnya sebagai organisasi independen. Yang tak kalah penting, organisasi ini perlu menjalin kerja sama dengan berbagai organisasi nasional atau internasional.
Pemerintah sebagai Fasilitator
Dalam sambutannya, Wiendu Nuryanti menyampaikan bahwa pemerintah sangat antusias menyambut ajang FBF 2015. Pemerintah berpendapat, ajang ini bisa menjadi upaya promosi budaya dan awal kebangkitan sastra Indonesia di mata dunia. Sebagai langkah awal, Kemendikbud merintis semacam organisasi penerjemahan sastra Indonesia yang bertempat di Sentul. Situs webnya bisa dilihat di: http://indonesiafbf.com/
Untuk ajang FBF 2015, Kemendikbud berniat memajang 2000 buku, dengan 100-150 buku yang diterjemahkan ke bahasa asing, terutama Inggris dan Jerman. Untuk itu pemerintah telah mempersiapkan anggaran sekitar Rp12 miliar.
Dalam sesi tanya-jawab, beberapa peserta memberikan masukan bagi pemerintah dan pihak terkait. Di antaranya, perlunya mendahulukan penerjemahan sinopsis, karena bisa dibilang 100 buku terlalu sedikit untuk dibawa ke ajang sebesar itu. Ada pula saran agar pemerintah mempertimbangkan akses penerbit asing ke para penulis Indonesia, mengingat penerjemahan bukan proses instan dan sulit dikebut dalam sisa waktu yang relatif singkat.
Peserta lain menanyakan kriteria memilih 100 buku yg akan diterjemahkan dan dibawa ke FBF 2015 serta teknis pelaksanaan keterlibatan penerjemah. Sebagai jawaban, peran pemerintah di sini hanya sebagai pendukung dan fasilitator. Pelaksanaannya tetap berada di tangan penerbit. Penerbit dipersilakan mengajukan proposal pendanaan, untuk kemudian dinilai oleh Kemendikbud dan diberikan dana. Pemilihan buku yang akan dibawa atau siapa penerjemahnya diserahkan kepada penerbit.
Menembus Pasar Internasional
Borobudur Literary Agency adalah agen yang dibentuk oleh Nung Atasana (mantan editor GPU) dengan tujuan mengekspor naskah Indonesia ke bahasa asing. Dalam makalahnya, Nung menyampaikan apa saja yang membuat naskah bisa menembus pasar internasional.
Sejauh ini sudah lebih dari 1.500 naskah Indonesia dengan berbagai tema yang hak ciptanya berhasil dijual ke mancanegara, seperti Malaysia, Jepang, Korea, Filipina, India, Italia, Belanda, dan AS. Penilaian penerbit mancanegara terhadap kualitas naskah mencakup: isi, bahasa, ilustrasi, dan desain. Selain itu, resensi naskah oleh media nasional terkemuka juga menjadi pertimbangan, karena menunjukkan kualitasnya.
Nung mengambil contoh buku Amba karya Laksmi Pamuntjak yang hak ciptanya telah dibeli Ullstein Verlag, penerbit Jerman, dan rencananya akan terbit pada 2015. Menurut editor Ullstein, keunggulan Amba terletak pada kisah cintanya yang sangat indah, serta penokohan dan jalan ceritanya yang kuat. Selain itu, Amba menangkap keunikan dan keindahan Indonesia, serta ditulis dengan bahasa yang indah, membius, kuat, puitis, dan akurat.
Berdasarkan pengalaman Nung ketika masih bekerja di GPU, buku Indonesia yang diminati pasar internasional cukup beragam. Umumnya yang dicari adalah naskah yang menghadirkan seting, tradisi, dan budaya lokal. Namun, untuk kalangan regional, seperti Malaysia atau Filipina, mereka juga melihat kedekatan dengan budaya mereka. Secara universal, yang paling diminati adalah buku anak-anak, terutama yang menggunakan ilustrasi manual. Namun ada pula negara yang tertarik pada sastra umum, komik, wisata, bahkan buku masak. Negara-negara Arab umumnya mencari buku yang memiliki muatan Islami.
Tips bagi Penerjemah
John McGlynn menutup seminar dengan pemaparan teknis yang sangat bermanfaat, terutama bagi penerjemah yang akan menerjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa asing. Sebelum mulai bekerja, penerjemah perlu menilai mengapa suatu naskah layak diterjemahkan dan apakah akan disukai pembaca bahasa sasaran. Setelah itu, penerjemah bisa menghubungi penulis untuk memperoleh izin menerjemahkan naskah, lalu mencari siapa pemegang hak ciptanya (penulis, penerbit, atau agen).
Jika naskahnya berupa buku, penerjemah perlu mencari penerbit yang mau menerbitkannya. Untuk memudahkan penerbit menilai naskah, penerjemah sebaiknya mencantumkan sinopsis naskah, menyebutkan apa saja keunggulannya hingga layak dibaca pembaca bahasa sasaran, bahkan menyediakan contoh terjemahan, misalnya satu bab. Penerjemah juga perlu mempelajari gaya atau format yang lazim di penerbit itu.
John juga memberikan sejumlah tips penting selama proses menerjemahkan naskah. Naskah harus dibaca dan ditulis ulang beberapa kali hingga menghasilkan terjemahan terbaik. Bagi John, terjemahan bisa dianggap seperti karya “baru” sehingga penerjemah dianjurkan lebih setia pada aturan yang berlaku dalam bahasa sasaran. Di sisi lain, penerjemah juga tidak bisa mengubah jalan cerita seenaknya jika menurutnya kurang pas. Jika ada masalah, konsultasikan dengan penulisnya. Kemukakan alasan mengapa ada bagian yang perlu diperbaiki.
Setiap naskah sebaiknya tidak dikerjakan terburu-buru. Menurutnya, setiap selesai draf pertama, naskah sebaiknya disimpan dulu selama beberapa waktu sebelum dibaca ulang. Dengan adanya jeda waktu, penerjemah memiliki sudut pandang yang lebih segar ketika membaca ulang naskah. Bahkan menurut John, pada draf terakhir, naskah sebaiknya dibacakan keras-keras untuk menilai keterbacaannya. Lebih baik lagi jika naskah terjemahan kita dibaca oleh penutur asli. Sebagai penutup, terimalah kritik dan dengarkan nasihat penerbit. Bagaimanapun penerbit punya sudut pandang yang perlu dihormati.
=====
Baca juga:
[1] Catatan dari Seminar “On the Road to Frankfurt: How Translation Travels” (dinabegum.com)
[2] Sepuluh Hal Penting Saat Menerjemahkan Fiksi (bruziati.wordpress.com)
24 April atau Maret Mbak? 😉
Hahaha… Makasih mas *langsung ganti 😀
Makanya tadi saya sempat bingung, wah bisa nih ikutan. Tapi kok udah adaa lapanta ya xixi 🙂
Semoga ke depan penerjemahan sastra makin diperhatikan oleh pemerintah.
Aamiiin… Dan nggak cuma sebatas janji 🙂