Kenaikan Tarif Penerjemah Buku


buatblog-2
Tulisan Corinne McKay “Raising your translation rates: how and when” mengingatkan saya akan pengalaman meminta kenaikan tarif pada salah satu penerbit. Sedikit-banyak saya sependapat dengan Corinne: jika kita minta kenaikan 30% atau lebih dari tarif sekarang, jawabannya tidak bisa. Tapi jika naiknya tipis saja, klien atau penerbit biasanya mengabulkannya.

Setelah empat tahun lebih menjadi penerjemah untuk penerbit A, saya memutuskan meminta kenaikan tarif. Mungkin aneh kelihatannya saya baru minta sekarang, tapi order terjemahan dari penerbit ini relatif jarang, jadi untuk mengajukan permintaan tersebut saya butuh momen yang tepat. Maka sewaktu editornya menawarkan proyek baru, saya segera meminta kenaikan tarif, yang alhamdulillah langsung diterima. Tapi masalahnya, tarif yang saya ajukan rupanya terlalu tinggi bagi Penerbit A, padahal itulah tarif saya di Penerbit B, klien yang baru bekerja sama dengan saya setahun belakangan ini.

Rini pernah menulis tentang “Kiat Mengajukan Kenaikan Honor Penerjemah Buku” di blognya. Dalam tulisan itu, pada dasarnya penerbit tidak keberatan dengan kenaikan tarif penerjemah. Bahkan ada penerbit yang tahu-tahu menaikkan tarif, biasanya setelah penerjemah menggarap 3 hingga 5 buku, karena menganggap si penerjemah telah menunjukkan kualitas yang diinginkan penerbit. Sewaktu saya masih bekerja di penerbit, kebijakan semacam ini yang berlaku. Meski begitu, faktanya lebih sering penerjemah sendiri yang harus aktif meminta kenaikan tarif.

Penerbit memang punya kebijakan masing-masing soal kenaikan tarif. Penerbit A, misalnya, hanya bisa menaikkan maksimal Rp1500/halaman (penerbit ini menerapkan tarif per halaman A4). Penerbit yang menggunakan sistem karakter biasanya menaikkan tak lebih dari Rp1/karakter, bahkan pernah hanya Rp0,5/karakter. Tapi konon ada pula penerbit yang melejitkan tarif penerjemahnya hingga Rp4/karakter (#jogetpisang).

Kembali ke cerita di atas, akhirnya setelah bernegosiasi, saya menerima tarif baru yang ditawarkan Penerbit A, kendati angkanya di bawah permintaan saya. Bagaimanapun saya mengerti setiap penerbit punya aturan main, dan editor saya sudah begitu baik hati berupaya membantu saya. Selain itu, saya sulit menolak buku yang ditawarkan karena ceritanya bagus. Terus terang saya sempat galau memikirkan kemungkinan batal memperoleh order ini seandainya permintaan saya ditolak.

Namun, dari sini saya mendapat pelajaran, persis seperti yang disampaikan Corinne dalam tulisannya: jika kita ingin menaikkan tarif, carilah klien baru. Atau dalam penerjemahan buku, carilah penerbit baru. Tarif pertama akan sangat menentukan masa depan kita, karena setelah itu naiknya akan sulit banyak-banyak. Tapi jika tarif yang didapat sebagai penerjemah buku belum memuaskan, ada baiknya terjunlah juga ke penerjemahan dokumen atau nonbuku. Untuk itu saya ingin mengutip kalimat dalam salah satu postingan favorit saya “Penerjemahan Buku, Nasibmu Kini” yang ditulis Mba Dina di blognya: Rata-rata penerjemah buku menerjemahkan buku karena cinta, suka, doyan. Sesederhana itu.

Advertisement

13 thoughts on “Kenaikan Tarif Penerjemah Buku

  1. *Jadi membayangkan Lulu joget pisang.*
    Aku pernah membaca komentar yang menanggapi pertanyaan mengapa honor penerjemah buku segitu-gitu aja. Komentar itu menyinggung kenaikan harga kertas, sewa gudang, biaya distribusi dll. dll. Lalu? Apa penerjemah yang harus mengalah, begitu? Padahal penerjemah dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas penerjemahan dengan banyak membaca, mengikuti seminar dan pelatihan dan sebagainya.
    Ini hanya pertanyaan yang berusaha dianggap retorik.

    1. Ya, kalau soal tarif penerjemah buku emang gampang-gampang susah ya, Mba… Aku juga bingung gimana baiknya. Menurutku sulit juga kalau penerjemah buku terus begini. Tapi dalam obrolan dengan Kari saat lokakarya tempo hari, dia bilang kondisi semacam ini juga terjadi di negaranya. Yang bisa mereka lakukan hanyalah ngumpulin para penerjemah sastra dan membuat semacam tarif minimal. Tapi mungkin itu bisa karena jumlah mereka yang jauh lebih sedikit, jadi lebih mudah diorganisir. Jangan2 kita pun perlu acuan tarif seperti pada penerjemahan dokumen.

  2. Mengenai acuan tarif, Lul, dalam penerjemahan buku kurasa sulit. Pasalnya, kemampuan seseorang menerjemahkan bisa naik-turun. Penerjemah yang spesialisasi pun tidak (semua) bisa konstan menghasilkan kinerja yang sama baiknya. Katakanlah, nilainya 9 terus. Sedangkan kalau ada acuan tarif, aku sangat yakin kalau aku jadi penerbit nih, pengennya bener-bener sepadan.
    Tambahan mengenai kenaikan, aku pernah dapat kenaikan lumayan tinggi tanpa diminta. Sebagai kompensasinya, dikasih materi yang sangat berat dan benar-benar harus memuaskan sehingga editor tinggal “ongkang kaki”. Menurutku adil aja, sih:)

    1. Hihi usul aja kok… Lagi pula, acuan yang kumaksud di sini bukan peraturan, jadi nggak mesti dituruti. Dan IMHO, acuan itu sebenarnya menguntungkan kedua belah pihak, baik penerbit maupun penerjemah. Masing-masing jadi tahu sebenarnya berapa tarif yang pantas diberikan dan diterima.

      Weits, keren, Rin, aku belum pernah mengalami seperti itu. Ya, menurutku juga adil, kenaikan memang harus dibarengi kinerja yang lebih baik 😉

    1. Halo, Yeni. Wah, kalau soal jadi penerbit, sepertinya kurang tepat nanya ke aku. Aku lebih berkonsentrasi pada penerjemahan 🙂

  3. Selamat siang mba. Aku sudah menerjemahkan beberapa buku di salah satu penerbit, tp sudah beberapa bulan ini aku ga nerima order dari penerbit itu. Kira-kira, etis ga mba kalau aku minta orderan ke penerbit itu? makasih

    1. Halo, menurutku etis aja kok. Kita bisa menghubungi editor yang dulu memberikan order dan menanyakan adakah buku yang bisa diterjemahkan. Boleh juga bertanya apakah ada masukan atau kekurangan penerjemahan kita selama ini (karena mungkin aja kan gara-gara itu kita nggak diorder lagi). Tapi, sayangnya kadang editor kelewat sibuk sehingga agak susah menjawab panjang-lebar soal ini.

  4. Gimana langka awal ngajukan ke penerbit, Mbak. Sy sdh menerjemahkan buku, tp cetak sendiri sj n dipakai untuk kalangan sendiri. Kali aja ada tips untuk pemula?

    1. Saya belum pernah mengajukan buku ke penerbit, paling-paling hanya menyarankan suatu judul untuk diterbitkan kepada editor. Tapi kebetulan saya sempat membaca blog tulisan seorang teman yang pernah jadi editor di Mizan. Di situ dia sempat menyebutkan tentang mengajukan buku ke penerbit. Ini tautannya: http://femmys.wordpress.com/terjemahanku/cara-menjadi-penerjemah/

      “Kita bisa saja menawarkan buku kepada penerbit. Barangkali ada buku milik kita yang menurut kita bagus dan layak diterjemahkan, atau kita cari sendiri ke Internet. Nah, contoh terjemahan yang disertakan bisa diambil sekalian dari buku ini. Selain itu, kita juga harus menyertakan evaluasi kita terhadap buku tersebut, yang menguraikan mengapa buku ini layak diterjemahkan, apa saja keunggulannya, keunikannya, mengapa buku ini penting bagi pembaca di Indonesia. Nah, kalau si penerbit tertarik, dia yang akan menguruskan copyrightnya, dan kalau urusan itu beres, secara etika, dia akan mengorderkan terjemahannya kepada kita (tentu saja kalau kualitas terjemahan kita dianggap layak).”

      Dicoba saja ya, Mba 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s