Sepekan Penerjemahan Sastra (Bagian II)


Penerbit yang menghadiri acara temu penerbit.

Penerbit yang menghadiri acara temu penerbit.

RABU, 25 SEPTEMBER 2013

Inilah hari yang paling saya tunggu-tunggu. Selain karena ada Acara Temu Penerbit yang menghadirkan sejumlah editor, saya bisa bertemu dengan teman-teman penerjemah yang selama ini hanya saya kenal di dunia maya 😀

Para pemateri untuk acara ini adalah Tanti Lesmana (Gramedia Pustaka Utama/GPU), Esti Budihabsari (Mizan), Anton Kurnia (Serambi), Andya Primanda (Kepustakaan Populer Gramedia/KPG), dan John McGlynn (Yayasan Lontar). Selain mereka, editor dari beberapa penerbit, yaitu Noura Books, Elex, Marjin Kiri, Dolphin, Alvabet, Dastan Books, Bhuana Ilmu Populer (BIP), dan Visimedia, ikut hadir.

Tujuan acara ini adalah memperkenalkan industri penerbitan Indonesia kepada peserta lokakarya, serta menyediakan wadah bagi para editor dan penerjemah untuk mendiskusikan permasalahan, harapan, dan kiat untuk memperbaiki kondisi kerja. Hendarto Setiadi, penerjemah senior, bertindak sebagai moderator.

Penerbit dan Buku Sastra

Pemateri dan moderator acara temu penerbit. Ki-ka: Esti (Mizan), Tanti (GPU), Andya (KPG), Hendarto Setiadi, Anton Kurnia (Serambi), John McGlynn (Yayasan Lontar).

Pemateri dan moderator acara temu penerbit.
Ki-ka: Esti Budihabsari (Mizan), Tanti Lesmana (GPU), Andya Primanda (KPG), Hendarto Setiadi, Anton Kurnia (Serambi), John McGlynn (Yayasan Lontar).

Harus diakui, karena pertimbangan pasar, penerbit lebih sering menerbitkan buku fiksi populer ketimbang buku sastra. Namun, beberapa penerbit memiliki strategi untuk mengatasinya. GPU selektif memilih karya klasik yang akan diterbitkan dan memperlakukan kemasan buku klasik secara berbeda, misalnya dengan menambah logo mawar merahnya yang terkenal itu.

Mizan juga mengandalkan kaver atau kemasan agar buku sastra terbitannya memikat pembaca. Selain itu, Mizan memilih pendekatan halus, yaitu memperkenalkan tema yang cukup dekat dengan pembaca, misalnya Pride and Prejudice yang kental unsur percintaannya. Strategi lain, Mizan juga berupaya mengemas karya sastra dalam bentuk e-book.

Serambi, yang konsisten memperkenalkan sastra dunia, tetap harus selektif dalam memilih buku yang akan diterbitkan. Upaya Serambi di antaranya memberikan kata pengantar agar pembaca bisa menangkap manfaat buku itu, serta memberikan catatan untuk menjelaskan istilah atau peristiwa yang dirasa asing bagi pembaca.

Penerbit dan Penerjemah

Secara umum hubungan penerbit dan penerjemah cukup baik, namun bukan berarti mulus. Penerbit kerap mengeluhkan sulitnya mendapat penerjemah berkualitas. Di sisi lain, penerjemah berpendapat hubungan antara kedua belah pihak masih berat sebelah, mulai dari sulitnya menembus suatu penerbit hingga honor penerjemah yang relatif kecil.

Soal honor, penerbit yang hadir mengaku ingin sekali membayar penerjemah cukup besar, tetapi laba mereka tidak memungkinkan untuk itu. Untuk menerbitkan buku, distribusi/toko buku menyedot biaya yang cukup besar (hingga 60 persen), sedangkan biaya produksinya sekitar 25 persen.

Moelyono dari Visimedia secara terbuka menyampaikan bahwa mereka membayar penerjemah Rp.15.000/halaman A4 spasi rangkap. Sementara itu salah satu penerbit, mungkin bergurau, berkata bahwa mereka mencari penerjemah yang bersedia dibayar semurah-murahnya, yang langsung disambut sorakan peserta. Namun, terlepas dari lelucon atau tidak, John McGlynn berpendapat bahwa masalah honor ini memang seperti lingkaran setan yang sukar dicari jalan keluarnya.

Mengenai sulitnya menembus penerbit, hampir semua editor tidak menampik lebih senang menggunakan penerjemah lama karena biasanya kedua belah pihak sudah mengenal pola masing-masing. Namun, bukan berarti jalan bagi penerjemah lain tertutup. Penerbit biasanya akan menanggapi lamaran penerjemah dengan memberikan tes. Jika hasil tesnya baik, penerjemah tentu diterima.

Beberapa editor memberikan tips untuk menjalin kontak awal dengan penerbit.

  • Pelajari karakter penerbit yang diincar, mis. genre buku yang diterbitkan.
  • Kirim cv yang telah diperiksa dengan teliti. Sebaiknya tidak mengirim e-mail tanpa body text, karena akan mempersulit pengarsipan. Begitu pula dalam mengirim lampiran, hindari menulis nama file attachment tanpa kejelasan identitas (misalnya “cv” saja).
  • Gunakan alamat e-mail yang profesional, hindari nama-nama aneh seperti “cutegirl@gmail.com”.
  • Sertakan contoh terjemahan. Sesuaikan dengan genre yang diminati.

Cukup banyak peserta yang berharap penerbit bisa meluangkan waktu memberikan umpan balik kepada penerjemah. Dulu sebagian penerbit masih sempat memberikan pelatihan atau bimbingan bagi penerjemah. Namun, mengingat kesibukan editor, kegiatan semacam itu semakin jarang.

Dengan kondisi seperti ini, penerjemah dituntut proaktif dalam meningkatkan kualitas diri, yaitu dengan mengerjakan terjemahan sebaik-baiknya apa pun genre buku yang digarap, meluangkan waktu lebih banyak untuk mengedit terjemahan, serta menjalin komunikasi yang baik dengan editor, terutama jika ada masalah yang perlu didiskusikan.

Penerjemah juga perlu mengenal karakter penerbit, mempelajari selingkung yang digunakan, dan jika dibutuhkan, membuat catatan penerjemahan yang memudahkan editor saat memeriksa pekerjaannya. Adakalanya editor sempat memberikan catatan koreksi kepada penerjemah, tapi lebih sering penerjemah sendiri yang perlu aktif melakukan evaluasi, misalnya dengan membandingkan hasil terjemahan dengan buku setelah terbit.

Apresiasi terhadap Penerjemah

Masalah royalti juga sempat mengemuka dalam diskusi. Namun, di Indonesia sistem royalti belum lazim. Esti berpendapat, sistem royalti bisa saja diterapkan, tapi masih terbentur banyak peraturan, misalnya soal pajak. Sementara menurut Tanti, royalti untuk penerjemah masih sulit, karena sering kali editorlah yang harus bekerja keras memperbaiki terjemahan. Anton yang juga penerjemah pernah dibayar dengan sistem royalti, tapi itu pun karena buku tersebut diterbitkan atas usulnya. Di sisi lain, Andya berpendapat, royalti justru agak merugikan penerjemah, karena jika dihitung-hitung jatuhnya lebih kecil daripada beli putus.

Terlepas dari masalah honor dan royalti, penerbit tetap berupaya memberikan apresiasi kepada penerjemah. Saya salut dengan langkah Marjin Kiri yang mencantumkan nama penerjemah di kaver belakang buku. Di beberapa negara, ketentuan untuk mencantumkan nama penerjemah di kaver buku memang mulai diberlakukan. Omong-omong, soal apresiasi terhadap penerjemah (di luar honor), tulisan mba Dina di sini patut disimak.

Dari diskusi hari ini, di luar berbagai kendala, penerbit sebenarnya selalu bermimpi menerbitkan buku sastra bermutu. Kita tunggu saja!

***

Artikkel_DVD_Syvendefar

Animasi The Seventh Father of the House,
cerita rakyat Norwegia.
Sumber: http://www.caprino.no/

Seusai temu penerbit, peserta lokakarya melanjutkan terjemahan. Saya sempat waswas karena waktu tinggal sedikit, sedangkan masih banyak yang harus kami terjemahkan. Hampir setiap kalimat sepertinya perlu didiskusikan. Tapi saya teringat kata-kata Eliza ketika pembukaan: peserta diminta bersenang-senang, dan yang penting prosesnya! 😀

Hari ini kami kembali menemukan kasus menarik. Salah satu tugas penerjemah adalah menyampaikan terjemahan dengan budaya yang dimengerti pembaca bahasa sasarannya. Dalam naskah kami, ada tentang “seven dwarfs” alias tujuh kurcaci. Konteksnya, Evelyn yang sudah renta merenung bahwa dirinya semakin tua dan menciut, sehingga bisa-bisa kelak menjadi salah satu dari tujuh kurcaci.

Dalam naskah asli bahasa Norwegia, Kari Brænne menggunakan cerita rakyat Norwegia untuk menjelaskan perasaan Evelyn itu. Judulnya Den syvende far i huset (The Seventh Father of the House), tentang seorang pengembara yang terjebak dalam badai salju dan melihat sebuah pondok di kejauhan. Si pengembara bertanya kepada pemilik pondok apakah boleh menginap di tempatnya. Sang pemilik menjawab pengembara itu harus bertanya kepada ayahnya, yang akan memberikan jawaban serupa, dan begitu seterusnya hingga tujuh kali. Semakin lama, orang yang ditemui si pengembara semakin tua dan semakin mengerut hingga nyaris tak terlihat.

Karena orang Inggris kurang familier dengan cerita tersebut, para penerjemah bahasa Inggris naskah ini harus memeras otak. Mereka perlu mencari kisah serupa yang mewakili perasaan Evelyn mengenai dirinya yang terus mengecil, dan harus dipahami pembaca bahasa Inggris. Akhirnya, mereka sepakat mengganti legenda ayah ketujuh dengan tujuh kurcaci. Langkah yang harus saya acungi jempol! Sayang, kami tidak menemukan kisah serupa di Indonesia, tapi kami pikir kisah tujuh kurcaci cukup terkenal.

KAMIS, 26 SEPTEMBER 2013

Pemateri Transcon 2013. Ki-ka: Pamela Allen, Kate Griffin, Kari Dickson.

Pemateri Transcon Atma Jaya 2013.
Ki-ka: Pamela Allen, Kate Griffin, Kari Dickson.

Paginya kami mengikuti acara TransCon Atma Jaya, konferensi penerjemahan tahunan yang diselenggarakan Universitas Atma Jaya. Dengan tema “Theory of Literary Translation”, pematerinya juga para pengampu lokakarya: Kate Griffin, direktur program internasional, BCLT; Pamela Allen, penerjemah sastra dan Associate Dean, Learning and Teaching, Fakultas Seni, University of Tasmania (pengampu kelas Indonesia-Inggris); serta Kari Dickson, penerjemah sastra dan dosen Studi Skandinavia, University of Edinburgh (pengampu kelas kami). Ketiga pemateri menyampaikan pentingnya menggalakkan penerjemahan sastra, apalagi Indonesia telah resmi menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015.

Mengenai penerjemahannya sendiri, ada dua hal penting yang saya tangkap dari pemaparan Kari Dickson dan Pamela Allen (penerjemah novel Saman ke dalam bahasa Inggris). Pertama, penerjemah perlu membaca naskah berulang kali sebelum mulai bekerja agar dapat menyerap isi cerita. Kedua, penerjemah perlu menjalin komunikasi dengan penulis. Dengan begitu, meskipun prosesnya cukup lama, kualitas terjemahan yang dihasilkan akan lebih terjaga.

Masalah ini yang menjadi pertanyaan salah satu peserta Transcon. Mengingat honor penerjemah buku yang relatif kecil sementara proses penerjemahan bisa menyita banyak waktu, bagaimana ketiga pemateri menghidupi diri. Para pemateri menjawab, mereka semua punya pekerjaan lain (kebetulan ketiganya dosen). Kari pun sesekali mengerjakan terjemahan dokumen, meski belakangan mencurahkan waktu untuk penerjemahan sastra.

Seusai acara, saya dan teman-teman mengobrolkan masalah ini dengan Kari Dickson. Kedua hal yang disebutkan pemateri sebenarnya penting, tapi belum didukung iklim penerjemahan sastra di Indonesia. Sering kali penerbit memberikan tenggat ketat (bayangkan, satu buku klasik 300 halaman dalam waktu sebulan!). Padahal, riset mendalam diperlukan, belum lagi waktu untuk menyunting terjemahan sebelum diserahkan ke penerbit. Kari sendiri meluangkan waktu untuk menyunting 4 hingga 5 kali, dan dia cukup prihatin ketika tahu terkadang kami hanya diberikan waktu singkat untuk menerjemahkan buku.

Alhasil, ditambah honor yang kecil, penerjemah kerap bekerja terburu-buru dan enggan menghubungi penulis jika menemui masalah. Tidak heran terjemahan di Indonesia kadang mengundang kecaman pembaca. Dalam obrolan kami, Kari menyarankan bahwa asosiasi penerjemah buku mungkin sudah diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Di Skotlandia sendiri, jumlah penerjemah buku bahasa Skandinavia ke bahasa Inggris relatif sedikit, jadi lebih bisa diorganisasi.

***

Setelah Transcon, kami kembali mengikuti lokakarya, dan kali ini kelas kami hijrah ke Ruang Pascasarjana 906. Saat diskusi, lagi-lagi ada kata yang diperdebatkan, yaitu “treacherous“. Konteksnya, karena saat ini menjelang musim dingin, tanahnya akan licin sehingga “berbahaya”. Tapi kenapa berbahaya?

Kata dalam naskah bahasa Norwegia-nya sebenarnya sesuatu yang menggambarkan “selicin cermin”, namun padanannya dalam bahasa Inggris tidak ada. Karena itu, terjemahan bahasa Inggrisnya menggunakan “treacherous“. Kami memutuskan menjabarkan bahaya yang dimaksud, dan kali ini kami justru menggabungkan kalimat karena menurut pemahaman kami akan lebih enak dibaca. Masalah keterbacaan rupanya cukup subjektif.

Asli: Soon the ground will be treacherous. She won’t be able to go anywhere without her ice grips and even then she’ll still be afraid of falling.

Terjemahan: Tak lama lagi jalanan akan dilapisi es yang licin dan berbahaya, dan ia tak akan bisa ke mana-mana tanpa sepatu esnya. Meski memakainya pun, ia masih tetap takut jatuh.

Kransekake.

Kransekake.
Sumber: dittegetbryllup.no

Satu hal lagi, agar konsisten dengan beberapa istilah sebelumnya, seperti bunad dan kransekake (semacam kue tradisional Norwegia), kami sepakat menggunakan bahasa Norwegia untuk beberapa istilah yang sulit ditemui padanannya dalam bahasa Indonesia. Karena itu, beberapa tanaman kami “kembalikan” ke naskah aslinya, seperti birch menjadi bjørk, hagberry menjadi hegg, dan lilac menjadi syrinen. Sejujurnya, proses ini istimewa bagi saya, karena selama mengerjakan relay translation, saya belum pernah mencari teks asli (non-Inggris) atau menghubungi penulisnya, dan mengembalikan suatu istilah ke bahasa aslinya. Perlu dicoba.

[Bersambung]

Advertisement

10 thoughts on “Sepekan Penerjemahan Sastra (Bagian II)

    1. Makasih, Ci, tapi kebetulan padat acaranya. Tapi kayaknya semangat nyatet gw cuma sampai hari Kamis :p Untuk Jumat dan Sabtu gw masih ngumpulin bahan tulisan, udah ga nyatet hehehe…

      1. sama-sama ^^
        jadi pengen tahu apakah ada pelatihan atau seminar atau training – hehehe -gratis – mengenai translating dan editing ^^

        saya pernah menerjemahkan beberapa bab novel roman utk blog portalnovel.blogspot.com , memang kendala bagi saya kalo ada bagian yg seharusnya lucu menggelitik, namun karena di bagian itu melibatkan budaya atau suatu cerita hikayat dari barat, lumayan memeras otak agar hasil terjemahannya sesuai dgn makna yg diinginkan dalan naskah asli.

        tapi bidang ini benar-benar menarik perhatian saya.
        ^^

      2. Halo, mba, maaf baru balas lagi 😀

        Biasanya HPI (Himpunan Penerjemah Indonesia) secara berkala mengadakan pelatihan. Mba bisa lihat infonya di situs webnya di http://www.hpi.or.id/ Bulan Oktober lalu justru temanya penyuntingan. Sayang saya juga nggak dateng :p

        Ya, penerjemahan emang agak susah-susah gampang ya… Kayak contoh kasus mba tadi kadang2 saya temui saat menerjemahkan. Pusing, tapi kalau udah ketemu rasanya seneng banget :).

        Ayo, mba, jadi penerjemah menarik kok, udah seneng baca, dibayar lagi hehe.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s