
Peserta dan pengampu kelas Norwegia-Indonesia Lokakarya Penerjemahan Sastra 2013.
Atas (ki-ka): Yani Sari, Kari Dickson, Dias Salim, Wewen Zi, Arys Aditya, Misran Jusan.
Bawah (ki-ka): Meda Satrio, Tarie Kertodikromo, Nissa Sunaringati, Made Melani, Miagina Amal, saya, Kari Fredrikke Brænne.
Selama seminggu (23-28 September 2013), saya mendapat kesempatan menjadi peserta Lokakarya Penerjemahan Sastra yang diadakan oleh Inisiatif Penerjemahan Sastra. Acara berlangsung di Universitas Atma Jaya, Semanggi, Jakarta, tapi khusus hari terakhir yang akan menampilkan pembacaan hasil terjemahan oleh para peserta, tempatnya di Teater Salihara, Pasar Minggu.
Seperti yang disebut dalam situs webnya, lokakarya ini diselenggarakan untuk membuka jalan menuju terbentuknya penerjemahan sastra di Indonesia. Sebenarnya, penerjemahan sastra bukannya tidak ada di Indonesia. Namun, kendala untuk menghasilkan terjemahan sastra berkualitas masih banyak, seperti kompetensi penerjemah yang rendah, kondisi kerja yang sulit, serta apresiasi yang rendah terhadap penerjemah dan karyanya. Dengan lokakarya ini, diharapkan iklim penerjemahan sastra akan lebih kondusif, dan otomatis apresiasi terhadap penerjemah sastra meningkat.
Lokakarya ini bekerja sama dengan British Centre for Literary Translation (BCLT) dan Paper Republic, lembaga internasional yang secara umum bertujuan mendorong tumbuhnya penerjemahan sastra di seluruh dunia. Modelnya pun diadaptasi dari International Literary Translation Summer School di University of East Anglia yang menjadi basis BCLT.
Diselenggarakan untuk kedua kalinya, lokakarya ini kembali membuka empat kelas, yaitu kelas (1) Indonesia-Inggris; (2) Inggris-Indonesia; (3) Norwegia-Indonesia, via bahasa Inggris; (4) Mandarin-Indonesia, langsung dan via bahasa Inggris. Saya sendiri mendaftar untuk kelas 3, yang dibimbing oleh penulis Kari Fredrikke Brænne, penerjemah Kari Dickson, dan penerjemah Miagina Amal. Saya memilih kelas ini karena beberapa kali saya menerjemahkan buku bahasa Inggris yang teks sumbernya berasal dari bahasa asing non-Inggris (relay translation). Saya ingin tahu bagaimana prosesnya, jangan-jangan yang telah saya lakukan selama ini perlu dievaluasi…
SENIN, 23 SEPTEMBER 2013
Hari pertama, karena kondisi Jakarta yang supermacet, saya putuskan berangkat sepagi mungkin. Ternyata kondisi jalanan cukup lancar, dan pukul 08.20 saya sudah tiba di Universitas Atma Jaya. Saya langsung mencari Ruang Arinze yang dipakai sebagai lokasi acara pembukaan.
Agak mundur dari jadwal, acara baru dibuka hampir pukul 09.30 oleh Eliza Vitri Handayani, penggagas Inisiatif Penerjemahan Sastra, yang memperkenalkan para pengampu lokakarya. Kemudian giliran peserta memperkenalkan diri. Sebelum mengakhiri acara, Eliza berpesan kepada peserta supaya bersenang-senang dan jangan tegang memikirkan target karena dalam lokakarya ini yang penting prosesnya.
Setelah acara pembukaan, peserta diminta menuju kelas masing-masing. Kebetulan kelas Norwegia-Inggris tetap memakai Ruang Arinze. Ada sepuluh peserta di kelas kami, ditambah tiga pengampu. Kami mendapat materi yang akan diterjemahkan selama lokakarya, yaitu satu bab dari buku karya Kari Fredrikke Brænne yang berjudul Under de dype skyggene av løvtunge trær (Under the Deep Shadows). Bab ini telah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh peserta sekolah musim panas BCLT tahun 2013.
Bukunya berkisah tentang seorang perempuan tua bernama Evelyn yang sudah 30 tahun tidak berjumpa dengan putranya, Wilhelm, yang kabur ke Amerika. Suatu hari, Evelyn berhasil menghubungi Wilhelm dan menyuruhnya pulang ke Norwegia. Ada rahasia besar yang perlu diceritakannya, rahasia yang berhubungan dengan sebuah pondok di tengah hutan. Dalam bab yang kami garap, Evelyn tengah bersiap menyambut Wilhelm, namun terganggu oleh kunjungan tetangganya yang kepo dan menyebalkan, Aslaug.
Sebelum mulai menerjemahkan, Kari Dickson bertanya apa yang kami ketahui tentang Norwegia. Saya sendiri cukup asing dengan negara tersebut, dan akhirnya malah kami yang lebih banyak melontarkan pertanyaan. Pengetahuan tentang negara atau daerah yang menjadi seting naskah yang akan diterjemahkan merupakan salah satu modal penerjemah. Karena itu, tak berbeda dengan penulis, penerjemah juga perlu melakukan riset mendalam. Syukurlah saya penerjemah yang lahir di masa mbah Google 😀
Setelah makan siang, kami dibagi menjadi dua kelompok dan mulai menerjemahkan. Dalam beberapa jam, kelompok saya hanya mampu menerjemahkan dua paragraf, sedangkan kelompok satunya sampai tiga paragraf dan bahkan masih sempat mengobrol dengan para pengampu. Selama proses ini, saya melihat satu kalimat atau istilah saja bisa memunculkan banyak variasi terjemahan, dan untuk menghasilkan konsensus kami perlu menekan ego dan menerima terjemahan yang dirasa lebih tepat.
Sebagai contoh, kata bunad yang beberapa kali muncul dalam naskah. Bunad adalah kostum tradisional Norwegia yang biasa dikenakan dalam acara pernikahan atau upacara tradisional lainnya. Kostum ini cukup berat dan harganya mahal.
Kami berdiskusi, perlukah istilah bunad dipertahankan, ataukah diganti dengan “kostum tradisional Norwegia”, misalnya? Jika dipertahankan, perlukan catatan kaki agar pembaca bisa memahaminya? Akhirnya kami memutuskan tetap memakai istilah bunad, dan menambahkan catatan akhir (meski belum sempat dikerjakan >,<). Kami menghindari catatan kaki karena menurut kami itu lebih cocok untuk karya ilmiah ketimbang fiksi.
SELASA, 24 SEPTEMBER 2013

Under the Deep Shadows,
buku yang menjadi materi terjemahan kami.
Sumber: http://www.aschehougagency.no
Hari ini Kari Brænne mempresentasikan foto-foto hasil risetnya untuk novel yang kami gunakan dalam lokakarya ini. Kari bercerita, dia sampai menghubungi agen properti untuk mencari rumah yang tampilannya mendekati keinginannya, yaitu pondok kecil yang agak terpencil (dan sampai sekarang Kari masih dihubungi si agen yang mengira Kari berminat membeli rumah :p). Saya salut dengan ketelitiannya dalam melakukan riset.
Kami melanjutkan penerjemahan, dan kedua kelompok kini mendapat paragraf yang berlainan. Diskusi baru dimulai setelah makan siang, dan ternyata seru juga. Sering muncul istilah atau kalimat yang tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya. Bahkan, kami terkadang mencoba mengubah susunan kalimat dari naskah asli.
Di sini mba Miagina Amal meminta kami berhati-hati. Dia berpendapat, penerjemah memang punya kecenderungan ingin menjelaskan, sehingga kalimat kerap dirombak agar gagasan dalam naskah asli tersampaikan. Namun, selama masih bisa, ada baiknya penerjemah setia dengan teks asli dan mempertahankan gaya penulis. Variasi hanya terjadi jika diperlukan. Ini salah satu contoh hasil terjemahan kami, yang jika dicermati tidak terlalu berubah dari susunan naskah aslinya.
Asli: The television is still on, a flickering source of light in the darkening room. There’s an old comedy on the box, a lively dinner party in black and white.
Terjemahan Awal: Ruangan yang remang-remang itu disinari cahaya kelap-kelip dari televisi yang masih menyala, yang sedang menayangkan komedi kuno hitam putih, tentang pesta makan malam.
Terjemahan Akhir: Televisi masih menyala, asal cahaya terang-redup di ruangan yang kian gelap. Komedi lawas hitam-putih tentang pesta makan malam yang meriah tengah ditayangkan.
Ada lagi yang menarik. Sebagai penerjemah, kami perlu memilih kata dengan cermat. Misalnya, dalam kalimat “She lifts her head“. Bisa dibilang kami semua sepakat terjemahannya adalah “Ia mendongak“. Kemudian, Kari Dickson menjelaskan bagaimana Evelyn (she) sebelumnya dalam posisi tertidur menunduk, lalu terbangun dan mengangkat kepala. Dengan begitu, “mendongak”, yang nuansa maknanya sangat tipis dengan sekadar mengangkat kepala, mungkin kurang tepat. Duh, repot juga jadi penerjemah. Semua kata harus dipertanggungjawabkan. [Bersambung]
Aku juga sebenernya engga gitu suka ngerombak kalimat asli, sebisa mungkin kupertahankan susunannya kecuali kalau udh ga ada jalan lain 🙂
Aku kadang gemes ingin mengubah susunan, terutama jika terjemahannya terasa janggal… Tapi aku sependapat selama masih bisa dipertahankan, mungkin lebih baik begitu ya…
Cukup mewakili, saya kira. Trims sebagai pengingat bagi yang lupa.
Sama-sama, Misran. Saya juga masih harus ingat-ingat nih, terutama untuk 2 hari terakhir, malah agak lupa :p
kalau jadi penulis, mungkin memang kepingin naskah diterjemahkan sesetia mungkin dengan teks asli. tapi sebagai pembaca, aku lebih suka terjemahan awal daripada terjemahan akhir, mbak. Yang kita “puaskan” di sini, pembaca atau penulis? hehehehe… *pertanyaan klasik buat para penerjemah/editor*
Ah tepat sekali, na. Tapi kebetulan untuk kasus di atas, pertimbangannya karena kalimat dalam versi aslinya (Norwegia) juga singkat-singkat. Di situlah enaknya ada penulisnya langsung, kami bisa berdiskusi, tp realitanya ga mungkin seideal itu ya 😀
huhu… pengen ikutan…
Iya, sayangnya di Jakarta dan seminggu pula. Atau siapa taun depan Che dan Aero udah bisa dititipin… Tapi tetep aja seminggu ya….
Terima kasih sudah berbagi, sangat bermanfaat. Tulisan lanjutannya ditunggu ya. Untuk bagian ini terus terang saya masih agak bingung, karena beberapa teman yang banyak menerjemah buku menganjurkan agar kita jangan terpancang dengan teks sumber, agar terjemahan nggak kaku. “Namun, selama masih bisa, ada baiknya penerjemah setia dengan teks asli dan mempertahankan gaya penulis. Variasi hanya terjadi jika diperlukan. Ini salah satu contoh hasil terjemahan kami, yang jika dicermati tidak terlalu berubah dari susunan naskah aslinya.”
Makasih udah mampir, mba Indri 😀 Kalau dari diskusi kami di kelas, kebetulan masalah ini muncul karena susunan terjemahan awal kami berubah total dari teks asli, padahal teks aslinya pun singkat-singkat. Lantas, mba Mia menganjurkan agar kami tidak sembarangan melakukan variasi dan tetap mempertahankan gaya penulis selama masih bisa, jadi bukan berarti melarang. Aku pribadi senang merombak kalimat sampai enak, tapi ada kalanya ternyata hal itu tidak diperlukan.
Dalam kasus lain, kami justru mengubah susunan kalimat agar lebih terbaca. Jadi memang sebenarnya tentang boleh-tidaknya merombak kalimat susah disamaratakan. CMIIW. 😀
mantap liputannya… ditunggu bagian ke-2nya….
Makasih, tarie. Sippp, moga-moga bisa secepatnya ya… Gini susahnya kalau nggak langsung ditulis, banyak yang terlupa >,<
Enak baca liputannya Lu, meskipun gw bukan penerjemah.. top deh…
Makasih, Ren, Acaranya juga padat, jadi enak ditulisnya 😀
Eliza Vitri Handayani? Ini yang nulis novel Area X itu bukan sih, Mbak? Lama sekali tidak mendengar namanya. Pertama kali tahu namanya pas saya SMP :))
Kalau nggak salah itu memang novel yang dibuatnya saat remaja, Fatah. Tapi kayaknya sekarang Eliza lebih aktif di penerjemahan sastra ini 😀
Iya, Mbak. Novel yang diakui sekali sama Taufik Ismail 🙂
Makanya, ketika ia ‘menghilang’ sejenak – dan, ternyata karena dapat beasiswa di Amrik – saya bertanya-tanya bikin karya apa lagi ya Eliza V. Handayani? Terjawab sudah 🙂