Beberapa tahun lalu, saya menerima bukti terbit salah satu buku terjemahan saya. Meskipun sampai sekarang saya masih “norak” ketika menerima bukti terbit, saat itu rasanya lebih di awang-awang lagi. Begitu tahu petugas tiki datang mengantarkan paket untuk saya, saya segera merobek bungkusannya, mengamati sampul bukunya sekilas, buru-buru membuka halaman hak cipta, dan membaca…
Penerjemah: Lulu Rahma
Astaga. Siapa orang ini? Saya sama sekali tidak kenal. Hehe, mungkin lebay, tapi ternyata typo sedikit bisa mengubah nama jadi asing sama sekali. Beberapa hari kemudian, ketika kebetulan disuruh bertandang ke penerbit tersebut, saya langsung protes. Tapi karena sudah terlanjur diterbitkan, si editor tidak bisa berbuat apa-apa dan berjanji mengubahnya pada cetakan kedua.
Sebenarnya, pengalaman saya tidak ada apa-apanya dibandingkan seorang teman penerjemah. Dalam salah satu buku terjemahannya, nama yang tertera di halaman hak cipta sama sekali bukan nama dia. Duh, meradang nggak sih. Masalahnya, seperti yang pernah saya singgung, kebahagiaan penerjemah buku bukan hanya saat mengecek saldo tabungan :p, tapi juga ketika menerima bukti hasil kerjanya selama sekian bulan itu.
Ada editor yang baik hati. Sebelum buku turun cetak, dia menyempatkan diri bertanya nama apa yang saya inginkan tertulis di halaman hak cipta? Atau, siapa tahu ingin mencantumkan gelar sekalian? Terlintas dalam pikiran saya, dengan mencantumkan gelar, mungkinkah saya akan sebeken drg. Fadly? Atau, seperti penerjemah lama yang kebetulan terjemahannya saya gemari, Ny. Suwarni? Namun, berhubung saya agak risi mencantumkan titel tertentu, saya urungkan niat tersebut.
Omong-omong soal gelar, saya pernah diprotes paman saya—yang kebetulan membaca buku terjemahan saya—mengapa saya tidak mau mencantumkan gelar di halaman hak cipta. Memangnya saya tidak bangga sebagai ST? Saya jawab, “Bukan nggak bangga, om, cuma nggak pingin aja. Lagi pula, rasanya hampir nggak ada penerjemah yang menuliskan gelarnya.” “Lho, ini editor kamu pakai gelar? Indradya SP?” Hihihi. Paman saya rupanya nggak ngeh itu memang nama si editor.
Menilik kata-kata Shakespeare di atas, ternyata buat saya nama itu sangat berpengaruh. Dengan nama inilah, saya mulai dikenal di dunia penerjemah/penyunting, meskipun awalnya nama saya yang tidak pasaran ini sempat membuat geger. Ceritanya, suatu penerbit mengadakan diskusi penerjemahan yang saya hadiri sebagai peserta. Saat itu, saya bener-bener baru terjun sebagai penerjemah. Ketika mengisi buku tamu, saya tulis nama saya, dan mba-mba yang menjaga pendaftaran langsung heboh.
“Mba Lulu datang. Mba Lulu datang.”
Wah, ada apa nih? pikir saya ge-er. Bahkan, saya langsung diantarkan ke salah satu tempat duduk. Setelah itu, terus terang saya tidak tahu kelanjutannya dan hanya bisa menebak belakangan. Sepertinya mereka mengira saya Lulu Wijaya, penerjemah mumpuni yang jam terbangnya jauh lebih tinggi daripada saya. Nggak apa-apa deh, insya Allah rezekinya bisa selancar mba Lulu. Aamiiin 🙂
betul, Mbak. nama tetaplah pentin ya….
Iya, mas. Doa orang tua 🙂
tapi saya malah sering pake nama samaran, hehe…tapi sama sekali ga bermaksud mengabaikan pemberian ortu loh 😀
Hihi percaya, mas 😀
punya gelar ST y mbak.. hmm unik y, tukang insinyur jdi pnerjemah buku..
Alhamdulillah, saya punya pekerjaan yang saya cintai daripada terus maksa jadi insinyur 😀
moga bs ngikuti jejaknya mbak.. 🙂
Aamiin… Insya Allah ya, mas. Sebelum memutuskan jadi penerjemah pun, saya butuh proses setelah 5 tahunan jadi insinyur, eh arsitek tepatnya.
Dri sarjana teknik nyasar jd penerjemah gmn critanya mbak?hehe…keren2 mbak lulu, tetap semangat berkarya mbak 🙂
Makasih, Amy 😀 Wah, ceritanya panjang, tapi nyasar jadi penerjemah lebih karena seneng baca sih.
sama2..emank paling enak klo dri kesenangan/hobi jd pekerjaan yah mbak..jd pas ngerjainnya jg enjoy,klo aq suka bca novel tpi yg udh terjemahan indo,hihihi..blom pede baca yg b. inggris lgsng 😀
Bener, amy, makanya kayaknya aku ga kebayang ngerjain pekerjaan selain menerjemahkan dan nyunting 😀 Toss! Aku juga lebih seneng baca novel terjemahan, lebih nyaman 🙂
*toss back* lha?kirain sy mbak krn suka baca novel yg b. inggris makanya jd tertarik buat nerjemahin,hehehe 🙂
Hehe nggak. Aku tumbuh besar sama novel2 terjemahan yg skrg dicetak ulang, spt lima sekawan, malory towers, agatha christie *ups ketauan umurnya 😀 Abis itu malah penasaran bisa ga nerjemahin kayak gitu
waahh..jd bermula dr rasa penasaran ya mbak,kerenn..
* jd pingin jd penerjemah kyak mbak lulu*hihi 😀
Aamiin, kalau amy mau pasti bisa. Semangat ya 😀 Oya, kunjungi juga deh blog temen2 penerjemahku, mereka juga punya cerita2 keren seputar penerjemahan lho, siapa tau amy jadi semakin tertarik. Ada blog mba dina di: http://dinabegum.wordpress.com, atau mba rini di http://www.rinurbad.com/
sip makasih infonya mbak lulu 🙂
Artinya… penting. Apalagi nama pasaran kayak namaku, hehehe. Sampai ditelepon pihak penerbit, “Apakah Mbak penulis kami yang bernama Ria Nur Badaria?”:D
Oh ya, aku pernah lihat. Lucunya, kok bukunya juga bertema editor penulis gitu ya… hehe.
Hmm… nama… tapi kalau pas nerjemahinnya jelek, malu-maluin. Hihihi ^^
Hihi, iya sih, mba. Aku mengaku 😀