Yuk, Ringankan Tugas Penyunting


edit and keep calm

Saya: Apa saja jobdes saya, Pak?
Bos: Ya… ngedit
Saya: Selain itu apa, Pak?
Bos: Ya… ngedit aja. Itu sih yang penting.

Saya masih ingat pertemuan pertama dengan mantan bos di penerbit ketika saya menanyakan gambaran tugas editor. Jawabannya seperti di atas, meski belakangan, terkuak tugas saya jauuuh lebih banyak 🙂 Tapi kalau dipikir-pikir, di antara tugas seabrek-abrek editor seperti yang ditulis Nui di sini, menyunting memang menyita porsi terbesar.

Selama menyunting, baik sewaktu masih berkantor maupun setelah menjadi freelance, saya mendapat banyak pelajaran. Salah satunya, tidak ada naskah yang bebas edit, sekalipun jam terbang penerjemahnya sudah tinggi. Meski kalau ada, kesalahannya minor sekali, sebatas salah ketik atau hal-hal lain yang manusiawi.

Terkadang hasil terjemahan yang saya terima berantakan. Tapi di sini “tantangannya”. Kalau terlalu mulus, saya malah terlena dengan ceritanya, dan lupa memeriksa dengan cermat. Dalam pikiran saya: pembaca juga akan merasa seperti saya, kalau buku sudah enak dibaca, tidak penting lagi jumlah “nya” dalam satu kalimat terlalu banyak, misalnya. Mungkin ada benarnya. Tapi di sisi lain penyunting perlu membaca naskah secara mendetail, apa pun kondisinya.

Karena saya sendiri juga penerjemah, pekerjaan saya juga disunting oleh editor. Terkadang saya mendapat masukan mengenai kekurangan terjemahan saya. Dari pengalaman saya sebagai penyunting serta masukan editor untuk saya sendiri, saya ingin berbagi beberapa hal yang sebaiknya dilakukan penerjemah untuk meringankan tugas penyunting.

  • Kirim terjemahan dalam format sederhana. Font standar adalah Times New Roman. Ada penerbit yang mewajibkan format Times New Roman 12, spasi ganda, dengan margin 3x3x3x3. Sebenarnya tidak masalah memakai font/huruf apa pun. Tetapi sebaiknya tidak memakai banyak huruf sehingga membingungkan.
  • Gunakan EYD sebagai rujukan, atau selingkung penerbit. Saya sendiri sebisa mungkin berpegang pada KBBI. Soal selingkung, karena saya bekerja untuk beberapa penerbit, terus-terang kadang tertukar-tukar :p Meski begitu, biasanya penerbit tidak membuat selingkung yang aneh-aneh dan menyimpang jauh dari KBBI.
  • Gunakan acuan yang diberikan penerbit. Sebenarnya ini terkait dengan selingkung tadi. Beberapa penerbit memiliki acuan mendetail mengenai cara menerjemahkan dan menyunting. Misalnya, mengganti “menggelengkan kepalanya” dengan “menggeleng” saja, atau membuang adegan yang terlalu vulgar, dll.
  • Waspadai idiom. Sepanjang pengalaman saya menyunting, terkadang masalah idiom ini yang sering ditabrak begitu saja oleh penerjemah. Sebenarnya hal ini bisa dihindari dengan membaca ulang. Kalau suatu kalimat terasa janggal ketika diterjemahkan secara harfiah, ada kemungkinan itu idiom, dan perlu dicari terjemahan yang paling tepat.
  • Minimalisasi salah ketik. Kalau jumlah salah ketik dalam satu bab bisa dihitung dengan jari, ini masih wajar. Tetapi saya pernah menemukan terjemahan yang bertaburan typo hampir di setiap alineanya. Kalau sudah begini, penyunting mau nggak mau harus bekerja keras.
  • Periksa kembali terjemahan sebelum disetorkan. Bagi saya, proses ini yang paling penting. Dulu, saya sering membaca hasil terjemahan berulang-ulang. Tapi bagi saya, sepertinya cara ini kurang efektif, karena semakin sering dibaca, saya semakin merasa ada saja kekurangannya. Belakangan, saya mencoba membaca per bab, setelah selesai, baru saya baca hasilnya secara utuh. Tapi karena menyunting adalah proses, mungkin saja cara ini berubah lagi 😀

Saya bersyukur menjadi penyunting, karena meski sering mencak-mencak jika menemukan terjemahan yang dikerjakan sembarangan, saya rasa di sinilah proses belajar menerjemahkan yang sebenarnya. Sering kali saya tidak cuma belajar dari kesalahan penerjemah, tetapi juga dari kosa kata baru atau cara menerjemahkan yang tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya.

Sumber fotowww.keepcalmstudio.com

*) Tulisan ini dibuat dalam rangka merayakan empat tahun karier menyunting saya (*tiup trompet) karena pada bulan April 2009, saya resmi menyunting untuk pertama kalinya 🙂

Advertisement

7 thoughts on “Yuk, Ringankan Tugas Penyunting

  1. Happy 4th editoversary, Lul:)
    Terima kasih artikelnya, aku sendiri masih (berusaha) membiasakan membaca ulang editan dan hasil proof. Memang terasa bedanya, walau belum “sempurna”.

    1. Makasih, rin, Haha editoversary… love it! 😀
      Aku juga gitu, rin. Makanya kadang suka mengakalinya dengan cara membedakan tampilan layar saat baca ulang, biar dapet rasa yang berbeda gitu.

  2. Yang sebel kalo ngumpulin terjemahannya nyicil, Mba. Bab per bab dibaca dulu sebelum dikumpulin, eh… pas ujung2 ada yang baru keinget or kepikiran buat diganti. Kalo udah gitu, cuma bisa membisikkan penyesalan dalam hati sambil menyelipkan doa supaya si editor nun jauh di sana dikaruniai kesabaran. aamiin… 😀

    1. Aku belum pernah setor per bab, cha. Tapi pernah nyicil 3 kali (kayak kredit aja :p). Biasanya pas setor yang terakhir, aku selalu ngirim terjemahan secara utuh plus menggunakan fitur “comment” untuk hal-hal yang baru terpikirkan kemudian. Aku ga memperbaikinya langsung di terjemahan, biar penyuntingnya langsung ngeh bagian mana yang harus diperbaiki dengan membaca “comment”-ku.

  3. Wah, postingan ini bagus bgt, Mb. Dulu sempet jadi editor novel, dapet terjemahan yg aduduh. Sempet kepikiran itu penerjemahnya males buka kamus kali. Padahal kan berhubungan dengan penerjemahan (termasuk editornya juga) kamus itu udah kayak kitab suci. Ketika melihat expressions yang terasa janggal kan harus langsung mengecek apakah itu idiom atau apa. Walhasil, jadilah saya seperti nerjemahin ulang. Kalo semua penerjemah seperti Mb mah… editor akan sangat tertolong. 😀 Moga2 semua penerjemah punya pemikiran seperti ini. Ga cuma asal setor, tapi juga sadar bahwa pekerjaannya berhubungan dengan orang lain, sehingga dia berusaha membuat sistem kerja yang lebih efektif dan beneficial untuk semua pihak. 😀

    1. Halo, Widi. Bener banget soal kamus, udh kayak panduan hidup buat penerjemah/editor *halah*. Sayang, klo nggak dibuka-buka. Iya, klo dapet terjemahan yang kurang baik, aku juga suka sedihnya persis kayak kalimat terakhir Widi di atas, bahwa kerjaan dia itu berhubungan sama banyak pihak (ngedit yg jadi molor, jadwal terbit mundur, dll). Makasih udah mampir, ya 😀

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s