Lantaran perdebatan seru di salah satu grup Facebook tentang peran editor/reviewer yang kelewat dominan dalam menilai terjemahan, saya jadi bertanya-tanya: haruskah editor/penyunting itu seorang penerjemah?
Dalam perdebatan itu muncul banyak keluhan penerjemah tentang mutu editor/reviewer, yang kerap dianggap sok tahu atau terlalu berkuasa. Saya kurang tahu bagaimana iklim di penerjemahan dokumen/nonbuku karena saya belum pernah main-main ke sana. Tapi saya tahu sedikit tentang penyunting terjemahan—khususnya penyunting yg menyempurnakan naskah dari segi bahasa—di dunia penerbitan (untuk selanjutnya disebut penyunting saja).
Sejujurnya, penyunting memang lumayan berkuasa atas buku yang hendak terbit. Bukan hanya dalam hal ejaan dan diksi, tetapi juga muatan buku itu sendiri. Misalnya, di tempat saya bekerja, hal-hal yang berbau seks dan kekerasan sebaiknya dikurangi. Tapi ada pula rekan penyunting di penerbit lain yang berpendapat buku harus diterbitkan apa adanya, karena udah begitu perjanjian sama pemegang rights buku di sono.
Tapi di sini pula letak “gawatnya” posisi penyunting. Kadang-kadang penyunting mengubah kalimat terjemahan menjadi kurang tepat, bahkan keliru. Lalu, jika buku sudah lahir dan dilepas ke tangan pembaca sementara kesalahan begitu banyak, buku itu menjadi rusak. Dan kalau sudah begini, bencana bagi penerjemahnya, karena ketika sebuah buku hancur lebur, biasanya pertanyaan yang muncul adalah: “Siapa sih penerjemahnya?”
Kembali ke pertanyaan di atas, saya sendiri agak bingung jawabannya. Banyak teman penyunting yang cukup piawai meski belum pernah menjadi penerjemah. Bahkan saya rasa banyak yang lebih dulu menjadi penyunting di penerbit sebelum total menjadi penerjemah. Apalagi penerjemah bukanlah profesi berstrata, tidak seperti di dunia jurnalisme yang mungkin mengharuskan redaktur pernah menjadi wartawan terlebih dulu.
Kalau begitu, apa dong persyaratan menjadi penyunting buku terjemahan? Saya rasa tidak berbeda dengan persyaratan menjadi penerjemah itu sendiri, seperti menguasai bahasa sumber dan sasaran. Lantas, apakah dia harus pernah menjadi penerjemah? Saya rasa tidak juga, karena sebenarnya penerjemah dan penyunting mestinya sama-sama memahami penerjemahan. Tapi penyunting yang pernah menjadi penerjemah jelas memiliki keuntungan, salah satunya tidak terlalu kagok ketika menghadapi naskah terjemahan dan lebih berempati kepada penerjemah :D.
Untunglah sekarang zaman internet :). Sebagai penyunting, saya beruntung bisa berdiskusi dengan penerjemah melalui YM atau Facebook atau sekadar SMS. Paling tidak, komunikasi tetap berjalan, penerjemah bisa memberi masukan kepada penyunting dan sebaliknya, dan penyunting pun tidak “semau gue” dengan bukunya. Dengan komunikasi, mungkin perdebatan antara penyunting dan penerjemah bisa dikurangi.
Menyandang profesi/status penerjemah memang tidak wajib bagi penyunting buku terjemahan, namun sebaiknya mengerti prinsip menerjemahkan dan mampu menerjemahkan dengan baik *semoga tidak muter-muter kalimatku ini*. Bukan begitu, Lul?:)
Terima kasih atas postingannya.
waaah, rin, dikau menyimpulkan ketujuh paragrafku menjadi satu kalimat yang pas… hihi setuju. aku makasih juga, rin 🙂
Hehehe, alhamdulillah. Hidup Penyunting!:D
Menurutku, bisa saja editor di penerbit tidak terlalu menguasai bahasa sumber suatu buku, asal didukung oleh penerjemah yang andal. Idealnya, editor di penerbit tidak perlu terlalu memeriksa akurasi hasil terjemahan, jadi berfokus pada manajemen naskah (yang perincian tugasnya sudah bejibun). Sama saja seperti saat dia memesan desain sampul kepada desainer, dia tidak perlu menguasai prinsip-prinsip desain dulu, tidak perlu pula mengoreksi desainer. Tenaga alih-daya di luar penerbit semestinya sudah merupakan tenaga profesional yang dapat diandalkan, jadi editor di penerbit bisa “terima jadi”.
Ya, Femmy, ketika tulisan ini diterbitkan, terus terang aku masih kuper sama konsep editor lepas, yang sejatinya bisa membantu tugas editor in-house dalam memeriksa akurasi hasil terjemahan. Saat itu, hampir semua kerjaan nyunting di tempatku dipegang editor in-house. Sampai mantan bosku bilang, tugas utama editor itu menyunting, yg lain2 serahkan ke ahlinya. Tapi itu mungkin karena produksi buku di tempatku dulu tidak sebesar di penerbit2 lain. Jadinya, editor bisa konsentrasi nyunting.
Klo sekarang, dengan semakin tinggi persaingan penerbit yang berujung semakin banyak buku yang harus diterbitkan (cmiiw), mau ga mau jadi kayak yg Femmy bilang, bahwa idealnya editor in-house lebih berkonsentrasi pada manajemen naskah. Thanks masukannya, Femmy 🙂
Ingin berkomentar sedikit tentang yang ini, maaf kalau OOT:
“Tapi di sini pula letak “gawatnya” posisi penyunting. Kadang-kadang penyunting mengubah kalimat terjemahan menjadi kurang tepat, bahkan keliru. Lalu, jika buku sudah lahir dan dilepas ke tangan pembaca sementara kesalahan begitu banyak, buku itu menjadi rusak. Dan kalau sudah begini, bencana bagi penerjemahnya, karena ketika sebuah buku hancur lebur, biasanya pertanyaan yang muncul adalah: “Siapa sih penerjemahnya?“
Saya untungnya baru satu-dua kali mengalami kejadian begini dan kesalahannya juga sedikit sekali sehingga buku tidak sampai jadi “aneh”, apalagi “rusak”. Dari pengalaman saya, sepertinya penyebabnya ada dua: editor kurang menguasai bahasa sasaran (dalam kasus saya, kurang paham idiom) dan editor dikejar tenggat sehingga kadang-kadang tidak cross-check ke naskah asli, melainkan langsung mengedit terjemahan. Di kasus pertama editornya editor lepas dan namanya tidak dicantumkan di buku, jadi tidak bisa dihubungi untuk berdiskusi. Di kasus kedua saya ingin berdiskusi, tetapi takut yang bersangkutan tersinggung. Kiat saya sementara ini adalah berusaha sebaik mungkin memudahkan editor dengan 1) memberi catatan untuk kata-kata/idiom tak lazim atau kalimat menjebak 2) Menerjemahkan sejelas mungkin sehingga memperkecil kemungkinan salah tafsir jika editor (karena keterbatasan waktu) tidak sempat cross-check ke naskah asli.
Aku juga baru satu kali mengalami kejadian di atas, dan nggak sampai buku jadi hancur lebur sih *lebay banget ya :p* Ya, aku setuju dengan Linda. Harusnya penyunting (tapi belum tentu editor penanggung jawab buku tersebut) juga menguasai teknik penerjemahan, termasuk idiom. Dan, penerjemah pun, kalau kurang paham, lebih baik ngasih catatan daripada membingungkan penyuntingnya kelak.
“… editor dikejar tenggat sehingga kadang-kadang tidak cross-check ke naskah asli, melainkan langsung mengedit terjemahan.” –>Soal tenggat, ini yang susah-susah gampang. Tapi, penerbit memang punya pertimbangan sendiri untuk menerbitkan buku cepat-cepat. Nah, di sini menurutku pentingnya pemeriksaan berlapis, jadi buku nggak dibaca satu editor dan proofreader saja. CMIIW
Berat juga ya kalau jadi editor, freelance sekalipun, dituntut “sempurna”. Tanpa bermaksud menyalahkan siapa pun, aku pribadi sewaktu menyunting pernah terlena dan salah menafsirkan kalimat. Abai pula mengecek naskah asli. Namun syukurlah editor in house dan proofreadernya cermat sehingga kekeliruanku itu ketahuan. Karenanya aku sependapat dengan Lulu, pemeriksaan berlapis sangat penting.
🙂 Walaupun sudah agak jarang menerjemahkan, ikut sharing ya.
Jujur, sebagai penerjemah, aku cenderung melepaskan hasil terjemahanku kepada penyunting. Karena aku menganggap, jika seseorang sudah sampai tahap menjadi penyunting, tentu ia lebih piawai daripada penerjemah. Jadi, ia mesti bisa mengoreksi dan menghaluskan hasil terjemahan.
Belum lama ini aku mendapat kesempatan untuk menyunting. Dan, menurutku memang lebih susah dari menerjemahkan :). Karena, bagiku, kalau sudah lewat proses penyuntingan, sebuah karya semestinya sudah ‘sempurna’ dan bisa dengan maksimal dinikmati pembaca. Entah karya itu digarap oleh penyunting in-house ataupun lepas.
Menurutku sih, kita harus memperlakukan semua klien sama, memberi terjemahan berkualitas sempurna kepada semuanya.
Misalnya, kalau kita menerjemahkan manual produk buat klien asing yang nggak memahami bahasa Indonesia, tentunya kita akan, dan harus, menghasilkan terjemahan yang bersih dari kesalahan, karena klien tidak bisa memeriksa hasilnya dan belum tentu juga akan mempekerjakan editor untuk mengoreksi.
Demikian pula, kalau kita menerjemahkan teks pelajaran untuk mahasiswa yang kebetulan kemampuan bahasa Inggrisnya kurang. Sebagai orang yang lebih memahami bahasa Inggris, kita juga harus menyerahkan terjemahan yang sempurna di sini, yang bisa membantu si mahasiswa memahami teks, bukan hasil terjemahan yang harus dikoreksi lagi.
Nah, kalau kita menerjemahkan untuk editor di penerbit, terjemahan kita juga harus sama kualitasnya kan? Sama-sama bersih, sama-sama bisa digunakan sebagai “hasil akhir”.
Jadi, baik klien kita merupakan editor yang lebih jagoan daripada kita, atau orang asing yang ngga memahami bahasa Indonesia, atau orang Indonesia yang kurang memahami bahasa Inggris (atau bahasa sumber lain), semuanya layak mendapat hasil terjemahan yang menurut penilaian kita sendiri adalah hasil terjemahan terbaik dan tidak perlu dikoreksi lagi.
Kadang nggak bisa dihindari pendapat yang bilang penyunting harus lebih jago daripada penerjemah. Bahkan adikku sendiri. Setiap kali melihat aku ngecek terjemahan sampai kedua atau ketiga kalinya, dia berkomentar, “Kan ada editor nanti.” Tapi, menurutku sulit juga kalau semua dibebani kepada editor. Penerjemah tetap harus ngasih yang terbaik. Meskipun iya juga, ga mungkin hasil pekerjaan penerjemah sudah sempurna, pasti ada aja kesalahannya. Itu gunanya editor kali ya… 😀