Selama menjadi penerjemah, saya paling sebal bertemu dengan kontrak yang mencantumkan denda keterlambatan. Bayangkan, sudah mati-matian mengerjakan terjemahan, tenggat tetap tak terkejar, pekerjaan terlambat diserahkan, dan masih harus membayar denda pula!
Denda yang ditetapkan penerbit bisa bermacam-macam. Ada yang berupa pemotongan sekian persen honor terjemahan (biasanya sekitar 5-15%), ada pula pemotongan sekian rupiah per hari keterlambatan. Misalnya, penerbit A memotong Rp10.000 untuk setiap hari keterlambatan, jadi jika terlambat 5 hari saja, honor saya habis Rp50.000. Mungkin tidak besar, tapi bete dong hasil kerja keras kita harus dipotong sesuatu yang sebenarnya bisa dihindari.
Tapi penerbit tidak bisa disalahkan. Pertama, kontrak dibuat untuk disetujui kedua belah pihak, dalam hal ini penerbit dan penerjemah (mungkin berlaku pula untuk profesi pekerja lepas lainnya, seperti editor, proofreader, desainer cover, dll). Penerjemah yang menandatangani surat kontrak berarti menerima segala konsekuensi yang ditetapkan dalam kontrak termasuk tenggat waktu.
Kedua, penerbit punya jadwal yang harus ditepati. Setelah mendapatkan hak penerjemahan sebuah buku, penerbit perlu segera memprosesnya. Biasanya, begitu hak penerjemahan didapatkan, penerbit lokal hanya punya waktu 18-24 bulan sampai buku terbit (tergantung klausul dalam kontrak hak penerjemahan). Dalam kurun waktu tersebut, penerbit sudah harus melakukan penerjemahan, penyuntingan, penyetingan, pengoreksian, pembuatan kover, dll yang diperlukan agar buku bisa terbit. Beberapa penerbit bahkan menerapkan “usia” buku itu cukup 6 bulan, mulai dari mendapatkan hak penerjemahan hingga terbit. Jadi, bayangkan misalnya sebuah buku dipatok selesai diterjemahkan dalam 3 bulan, namun penerjemahannya molor sampai 6 bulan. Bagaimana dengan proses selanjutnya? Tentu semakin tertunda-tunda, dan jadwal yang sudah disusun akhirnya berantakan.
Tapi tidak semua penerbit menerapkan sistem denda uang semacam ini. Ada pula penerbit yang cukup menghentikan kerja sama jika penerjemah tidak kunjung menyerahkan pekerjaannya setelah jauh melampaui tenggat. Biasanya sih ini karena penerjemahnya tidak pernah memberi kabar pada penerbit, atau sebaliknya, si penerjemah sulit dihubungi dan sepertinya tidak ada tanda-tanda akan menuntaskan pekerjaan.
Alhamdulillah, saya baru sekali bertemu penerbit yang menerapkan sistem denda (dan hasil terjemahan bisa saya setorkan sebelum tenggat… fiuh!) Untuk penerbit semacam ini sebaiknya tenggat ditentukan berdasarkan kesepakatan penerjemah dan penerbit, alih-alih ditetapkan sepihak oleh penerbit, agar tercipta win-win solution bagi kedua belah pihak. Bagaimanapun, kita yang paling tahu kondisi diri, kapan baru bisa mulai menerjemahkan, berapa lama waktu yang dibutuhkan, dll. Tapi sejujurnya, saya pribadi lebih suka menghindari denda, karena saya mencemaskan dampak hasil terjemahan yang tidak maksimal.
Aku pernah mencandai editor salah satu penerbit yang menerapkan denda ini, bahwa aku baru mau terima ordernya kalau aturan tersebut sudah dihapuskan. Tapi berhubung sudah berlaku sangat lama, aku akhirnya memutuskan untuk menawar deadline saja:D
Terima kasih Lul, postingannya mengilhami untuk menulis topik senada.
Iya, rin, susah kalo peraturan itu udah berlaku lama di penerbit. Untung kadang editornya pengertian 🙂
Mba Lulu, alhamdulillah aku belum pernah kena denda walaupun pernah telat sekali gara2 naskahnya susah, hehehe, tapi kalo aku nempatin diri jadi editornya pasti pusing ya kalo terjemahannya telat masuk dapur redaksi -__-
Halo, mel… iya, pasti bingung, tapi klo telatnya ga seberapa masih mending… Tapi sejujurnya, soal denda ini aku masih ga sreg sampe sekarang…
hehehe, saya pernah kena denda juga dari salah satu penerbit. bahkan jadi langganan denda kalo ada pesanan tulisan dari salah satu agen naskah. ada kesel tapi maklum juga karena kadang ada salah di saya. hehehe… tapi itu jadi pembelajaran buat saya untuk lebih disiplin dalam menerjemahkan. terima terima kasih sudah berbagi. 🙂
wah, mba nur, makasih udah main2 ke sini. tau ga, blog mba salah satu yang direkomendasiin rini buat kubaca, dan memang keren! soal denda, serba susah ya, mba, kadang aku sebagai penerjemah juga suka mundur-mundur (*dasar bandel… hehe*), tapi kalau ada denda bikin deg-degan ngerjain terjemahannya 🙂 aku baru mengalami satu kali…
Alhamdulillah belum nemu yang sistemnya denda…
Mbak, aku jangan didenda yah, Mbak… hehehehe
hai mery, iya jangan sampai… ga, sejauh ini belum ada rencana denda2an (dan moga2 ga akan ada) ^^
salam kenal, saya Febri freelance translator pemula. mau tanya kalo kita translate novel utk tujuan komersil apa dpt royalti atau hanya fee dr translate saja? demikian mohon tanggapannya. trims
Salam kenal juga, Febri. Setahu saya, hampir semua penerbit hanya membayar fee penerjemah tanpa royalti. Mungkin ada yang royalti, tapi masih jarang. Memang sayang, ya, apalagi kalo kita dapat novel yang bestseller 😀